Pages

Jumat, 21 September 2012

Cut Nyak Dien Dan Perlawanan Terhadap Imperialisme (1848-1908)



Oleh Nazirah

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang memiliki akal.
QS. Yusuf (12) : 111

Pikirkanlah dengan dalam..! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang.
Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau feminisme zaman modern sekarang ini.
Kekaguman Buya Hamka atas keteguhan Cut Nyak Dien              

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya oleh karena itu belajarlah dari sejarah
Sejarah perempuan Indonesia bukan hanya membincangkan peran perempuan yang menuntut pendidikan dan kesetaraan di segala bidang, melainkan juga mengenai sejarah para perempuan yang pernah menjadi pemimpin sebuah kerajaan, negarawan maupun pemimpin militer. Di Aceh, misalnya sebut saja Laksamana Malahayati atau Ratu Nihrasiyah Chadiyn. Tetapi, jika kita maju hingga akhir abad ke-19 di masa Aceh berperang melawan penjajahan Belanda, maka kita akan bertemu dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Fakinah. Sayang, sejarah perjuangan mereka nyaris dilupakan bangsa.
Tentu kita bertanya, mengapa Aceh memiliki begitu banyak tokoh perempuan dalam melawan kaum imperialis? Menurut Teuku H. Ainal Mardhiah Aiy dalam artikelnya yang berjudul “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau sampai Masa Kini”, dijelaskan mengenai kedudukan perempuan di Aceh pada masa lampau. Perempuan Aceh diberi kesempatan dan penghargaan yang luar biasa untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara serta kancah pertahanan karena Pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam mengambil Islam sebagai dasar negaranya dan Kanun serta Hadits sebagai sumber hukumnya. Oleh karena itu, perempuan setara dengan laki-laki dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Maka adalah hal yang wajar jika banyak tokoh perempuan yang bermunculan dan berperan sama pentingnya dengan laki-laki di Aceh.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu pahlawan perempuan Aceh yang telah disebutkan di atas, yaitu Cut Nyak Dien. Siapa yang tidak kenal beliau dalam perjuangannya mengusir penjajah? Insya Allah masyarakat dalam negeri ini mengenalnya. Akan tetapi, adakah yang mengetahui mengapa beliau sangat gigih melawan penjajah? Hal inilah yang kurang atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang.
Cut Nyak Dien adalah keturunan dari bangsawan puteri Nanta Seutia Raja Ulebalang VI Mukim. Berwajah cantik, baik budi pekertinya, tangkas tingkah lakunya, dan mempunyai watak yang luar biasa menjadi kata yang pas disematkan pada Cut Nyak Dien.[1] Nanta Seutia mengharapkan putrinya menikah dengan seorang yang mencintai negaranya. Maka, Cut Nyak Dien akhirnya menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Teuku merupakan seorang pahlawan yang memimpin peperangan melawan kolonial Belanda. Keduanya merupakan pasangan serasi dalam kepribadian, yaitu tegas dan tangkas dalam menyikapi “Kaphe (kafir) Belanda” yang merupakan musuh agama dan negara.
Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda hadir dalam bentuk upaya mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanam semangat jihad kepada anak-anak mereka. Ketika peperangan semakin memanas, Cut Nyak Dien terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Pun, ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur (29 Juni 1878), Cut Nyak Dien tidak larut dalam kesedihan dan berputus asa, melainkan sebaiknya beliau merasa bangga atas kemuliaan suaminya yang syahid.
Seiring dengan berjalannya waktu, Cut Nyak Dien akhirnya melepaskan status jandanya. Kali ini pria yang dinikahinya adalah Teuku Umar yang setelah pernikahan diangkat menjadi panglima perang. Ketika banyak daerah yang telah dikuasai oleh Belanda dan Belanda menyatakan damai, banyak Hulubalang yang menyerah damai. Namun, Cut Nyak Dien tetap tegas menyatakan pantang tunduk. Atas kegigihannya mengobarkan semangat jihad, banyak para pahlawan kian bersemangat dalam berjuang mengusir Belanda untuk secara teratur mundur dari Jawa pada tahun 1873.
Setelah peperangan tersebut, Cut Nyak Dien pulang ke kampungnya, Lampisang. Sampai di Lampisang, ia menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah lanjut usia sebagai Hulubalang VI Mukim. Selain memegang tampuk pemerintahan, Cut Nyak Dien juga mengatur siasat untuk menentang Belanda dari dalam rumahnya yang dijadikan “Markas Besar”. Cut Nyak Dien pun terus berusaha mengubah paham suaminya agar tidak berdamai dengan Belanda. Hal ini akan terlihat jelas saat Teuku Umar menyebrang ke pihak Belanda.
Teuku Umar mengajukan penyerahan diri dan menyatakan siap membantu Belanda mengamankan Aceh Besar yang diikuti sikap Jenderal C. Deijkerhoff untuk meneliti kesungguhan suami Cut Nyak Dien tersebut. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar dengan menggunakan kebijaksanaannya berhasil mengamankan Mukim XXV untuk membuktikan kesungguhannya. Deijkerhoff pun merasa puas atas sikap Teuku Umar dengan menerima penyerahan dirinya. Pada tanggal 30 Sempetember 1893, Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan sumpah setia di hadapan Deijkerhoff dalam sebuah upacara.[2] Gelar Johan Pahlawan Panglima Besar Hindia Belanda didapatkan pada upacara ini. Teuku Umar juga diberi sebuah rumah besar, diangkat sebagai pejabat pemerintah, dan mendapatkan gaji. Selama 3 tahun Teuku Umar berada di pihak Belanda, dan selama itu pula Cut Nyak Dien tetap tegas melawan Belanda dan berusaha mempengaruhi suaminya untuk tidak terus melanjutkan taktiknya.
Adalah Teuku Fakinah, seorang pejuang wanita yang selalu gigih melawan Belanda. Teuku Fakinah memiliki hubungan yang erat dengan Cut Nyak Dien karena keduanya saling membantu ketika peperangan. Saat Teuku Fakinah mendengar berita mengenai Teuku Umar, ia memikirkan bagaimana caranya supaya Cut Nyak Dien dapat mempengaruhi suaminya untuk kembali ke jalan yang benar. Maka Teuku Fakinah mengirim Cut Nyak Dien surat berisi permintaan agar suaminya menyerang benteng-benteng Inong Bale. Tujuannya agar dia tahu keberanian wanita Aceh yang terdiri dari janda-janda. Melihat kondisi tersebut, Cut Nyak Dien tersadar dan mengirim surat balasan pada Teuku Fakinah yang berisi harapan agar Allah mengembalikan langkah Cut Nyak Dien dan Teuku Umar ke jalan semula.
Teuku Umar mendapati bahwa walaupun berada di pihak Belanda, ia mengalami kesulitan untuk mengubah langkah Belanda agar menguntungkan pihak Aceh. Menyadari hal tersebut, maka Teuku Umar berencana untuk kembali berbalik melawan Belanda setelah mendapatkan senjata tambahan, yaitu 380 pucuk senapan achterlaad, 25.000 peluru Beamont, 120.000 slaghoedjes, 5.000 kg loods, dan uang $18.000Setelah kembali ke pihak Aceh, Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien melancarkan perang gerilya. Saat perang inilah, Teuku Umar meregang nyawa. Ia syahid dalam sebuah pertempuran. Berita syahidnya Teuku Umar sampat membuat Cut Nyak Dien terpaku. Namun tak lama berselang, kebanggaan tersirat dalam dirinya karena sejatinya Teuku Umar meninggal dalam kondisi syahid.
Pasca syahid suami keduanya inilah Cut Nyak Dien bersumpah: “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara.”[3] Cut Nyak Dien pun meneruskan perjuangan suaminya dan bergerilya selama enam belas tahun di tengah hutan.
Pada tanggal 6 November 1905, Belanda menyerbu ke hutan, tempat di mana Cut Nyak Dien bersembunyi. Dalam serbuan itu situasi menakdirkan Cut Nyak Dien tertangkap. Dalam kondisi yang lanjut usia dan tidak kuasa lagi melawan Belanda, perempuan pemberani itu mencabut rencong di pinggang pendukungnya lalu dihadapkan ke dadanya. Sebelum rencong tersebut menikam dadanya, Letnan Van Vuuren secepat kilat merampas rencong dari tangannya. Akibat perbuatannya, Van Vuuren membuat marah Cut Nyak Dien yang berkata, “Jangan kau menyinggung (menyentuh) kulitku, kafir!”[4] Versi lain menebutkan bukan Van Vuuren yang menangkap lengan Cut Nyak Dien, melainkan Panglima Laot, pengikut Cut Nyak Dien yang selalu menasehati pahlawan perempuan tersebut untuk menyerah pada Belanda.
Panglima Laot-lah yang melapor kepada Belanda mengenai posisi Cut Nyak Dien. Panglima Laot melapor akibat ia tidak tahan lagi melihat kondisi Cut Nyak Dien yang begitu menyedihkan. Ketika Panglima Laot menangkap tangan Cut Nyak Dien agar melepaskan rencong, Cut Nyak Dien marah dan menjeritkan hinaan: “Cis, kau pengkhianat!” Cut Nyak Dien juga berkata kepada Kapten Veltman: “Kau kafir jahanam, tembak saja aku! Di Meulaboh pun kau nanti akan membuangku ke laut.”[5] Dari perkataan Cut Nyak Dien ini, kita dapat menyimpulkan bahwa walaupun dalam keadaan terdesak, beliau tidak begitu saja takut dan menyerah. Beliau terus melawan, walau kemungkinan untuk menang sangat kecil. Sikap beliau terhadap Belanda sama sekali tidak berubah, tetap tegas menghadapi mereka.
Alhasil, Cut Nyak Dien dibawa ke Meulaboh. Dari sana, beliau diberangkatkan ke Kutaraja. Awalnya, Cut Nyak Dien tidak akan diasingkan. Tetapi, Pemerintah Belanda khawatir jika tidak diisolir Cut Nyak Dien dapat kembali mengobarkan semangat perjuangan. Akhirnya keputusan mengasingkan Cut Nyak Dien itu dipilih Belanda. Perempuan gagah berani itu dibawa ke Batavia hingga kemudian diasingkan ke Sumedang. Namun dalam pengasingannya, Cut Nyak Dien mendapatkan perlakuan istimewa meski ia tetap tidak diizinkan melihat tanah Aceh. Hingga pada tanggal 6 November 1908, mujahidah tersebut meninggal dalam pengasingan.
Ketahuilah, Cut Nyak Dien memiliki pengaruh besar di masyarakatnya dan cukup ditakuti oleh Pemerintah Belanda. Beliau disegani kawan maupun lawan. Hal ini terbukti dari kebijakan Belanda untuk mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang, jauh dari tanah dan rakyatnya. Padahal Cut Nyak Dien pada saat itu telah berusia lanjut dan lemah.
Pengaruh Cut Nyak Dien, seperti yang diuraikan dari karangan Pol bahwa di Meulaboh kejuruan/uleebalang, datuk-datuk, penghulu-penghulu, dan lain-lain mulai dari setinggi-tingginya sampai serendah-rendahnya betul-betul menjadi momok menakutkan bagi Belanda.[6]. Walaupun tidak dapat berjuang dengan tangan dan kaki, tapi pikirannya mampu mengobarkan semangat para pahlawan Aceh untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Selain itu, beliau juga dapat bertahan di hutan-hutan dengan makanan seadanya, bahkan berminggu-minggu tanpa sesuap nasi. Padalah pada saat itu, usia Cut Nyak Dien telah udzur. Hal inilah yang menyebabkan para pengikutnya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Mereka sudah tidak tahan lagi dengan kondisi Cut Nyak Dien dan ingin menyelamatkannya.
Cut Nyak Dien bukan hanya pejuang yang gigih, tegas, dan tangkas, tapi beliau juga seorang istri yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Cut Nyak Dien memang tidak menyukai taktik yang dijalankan oleh Teuku Umar, tapi beliau terus mendukung dan mengingatkannya dengan berbagai cara. Beliau juga tidak terlena dengan perlakuan istimewa Pemerintah Belanda ketika Teuku Umar berada di pihak Belanda. Saat Teuku Umar kembali melawan Belanda, Cut Nyak Dien mendukung suaminya dan berusaha agar para pejuang Aceh dapat menerima suaminya.
Cut Nyak Dien berjuang bukan hanya dengan tenaga dan kekuatannya, tapi juga dengan pemikiran dan keteguhannya membela agama. Seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama merekaBegitu pula dengan semangat perjuangan Cut Nyak DienWallahu’alam bi ash shawwab.




[1] Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 297.
[2] Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 277.
[3] Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 301.
[4] Ibid. Hal. 301.
[5] Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad  jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 339.
[6] Ibid. Hal. 331.

Rabu, 19 September 2012

MUHAMMAD ABDUH: TEOLOGI RASIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP MODERNISASI PENDIDIKAN MESIR



Oleh
Haniatur Rosyidah
1006698774


Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1848/ 1265 H di sebuah perkampungan bernama Mahallah Nasr, di propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairullah seorang petani berdarah Turki, sedangkan ibunya Yatimah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar Ibn al Khatab.[3]
Keluarganya merupakan keluarga yang cinta ilmu pengetahuan. Pendidikan dasarnya seperti membaca dan menulis beliau dapatkan dari orang tuanya sendiri. Sedangkan untuk Al-Qur’an, beliau belajar dari seorang Hafidz dan dalam dua tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an.[4]  Setelah usianya 10 tahun sang ayah mengirimnya untuk belajar al-Qur’an di Masjid Ahmadi[5] kota Thanta yang terkenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an. [6]
Selama belajar di Thanta, beliau merasa kecewa karena pendidikan di Thanta  hanya mementingkan hafalan dan hafalan. Beliau memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan  menikah. Namun, niatnya ini tidak disetujui oleh orang tuanya. Beliau diminta untuk kembali ke Thanta. Dalam perjalanan menuju Thanta, beliau berubah pikiran dan mengubah arahnya ke sebuah desa tempat tinggal pamannya yaitu Syeikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh), Syekh Darwsy tahu sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka beliau selalu membujuk Muhammad Abduh supaya membaca buku bersama dengannya.[7]
Yamansyah mengungkapkan, Muhammad Abduh menceritakan sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dari kitab Muzakirat al-Iman Muhammad Abduh, bahwa  beliau pada saat itu benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwsy beliau lempar jauh-jauh. Buku itu dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh, Darwsy selalu sabar menghadapi Abduh, dan akhirnya M.Abduh mau juga membaca buku  tersebut beberapa baris. Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian beliau kembali ke Thanta  yaitu pada bulan oktober 1865 M/ 1286 H.[8]

Enam bulan di Thanta tidak cukup untuk membuatnya merasa nyaman. Akhirnya, beliau memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Al azhar dan berharap mendapatkan sistem pendidikan yang beliau inginkan di sana. Namun, kenyataannya ternyata berbeda. Beliau juga mendapatkan kekecewaan yang sama seperti selama di Thanta. Karena hal ini, Muhammad Abduh hampir mengabdikan hidupnya sebagai sufi dan tidak memperdulikan kehidupan dunia.
Dalam keadaan seperti tu, beliau bertemu dengan Jamaludin Al Afghany[9]. Jamaludin al-Afghanilah yang akhirnya dapat menyadarkan Muhammad Abduh kembali. Sistem pengajarannya yang cenderung menerapkan metode diskusi membuat Muhammad Abduh nyaman belajar dengannya. Dari sinilah Muhammad Abduh belajar tentang ilmu bidang filsafat, logika, ilmu kalam, dan sosial politik.
Pada tahun 1877 beliau berhasil lulus dari Al-Azhar dengan mendapat gelar kesarjanaan 'alim, suatu prestasi yang memberikan hak untuk mengajar di Universitas ini. Muhammad Abduh  mengajar di tiga lembaga pendidikan, yaitu Al-Azhar dalam mata kuliah ilmu kalam dan logika, Universitas Dar-al-Ulum serta perguruan Bahasa Khedevi dalam mata kuliah ilmu kalam, sejarah ilmu politik dan kesusasteraan Arab.[10] 
Dalam mengajar, beliau menggunakan metode diskusi dan penalaran. Beliau juga menekankan kepada anak didiknya untuk mengetahui kondisi masyarakat Mesir. Karena metode pengajarannya ini, beliau dicurigai mendukung barat oleh pihak Universitas Dar-al-Ulum sehingga beliau tidak lagi mengajar di sana.
Pada tahun 1880, oleh Perdana Menteri Riyadh Pasha, beliau diangkat sebagai salah seorang redaktur surat kabar pemerintah, Al-Waqai’ al-Mishriyyah[11], tidak lama kemudian beliau dipercaya untuk menjadi Editor In Chief (ketua editor).[12]  Pada tahun 1882 beliau terlibat dalam pemberontakan Urabi[13] karena berbagai tulisannya dalam mengkritik pemerintah. Peristiwa ini membuatnya diasingkan ke Suriah selama 3 tahun. Namun, hal ini tidak membuat langkahnya terhenti, melainkan sebaliknya. Beliau semakin leluasa untuk menyebarkan pemikirannya yang sebelumnya hanya dalam lingkup Mesir, sekarang menjadi lingkup dunia.
Setelah itu, beliau bertemu dengan gurunya, Jamaluddin Al-Afghany di Paris. Beliau pun bergabung dengan jama’ah Al-Urwath Al-Wutsqa serta  bersama gurunya, beliau menerbitkan majalah dengan nama jama’ahnya tersebut. Majalah ini adalah majalah berbahasa Arab pertama yang beredar di Eropa. Sayangnya majalah ini dilarang untuk terbit kembali setelah 18 edisi. Selanjutnya beliau kembali lagi ke Beirut (Suriah). Disinilah buku Risalah Tauhid berhasil beliau selesaikan.
Pada Tahun 1888 beliau kembali ke Mesir setelah diampuni oleh Taufiq dan diangkat sebagai Kadi[14] kemudian menjadi penasehat hukum pada Mahkamah Agung tahun 1890. Selanjutnya, pada tahun 1895 menjadi anggota Dewan Pimpinan al-Azhar mewakili pemerintah.[15] Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil awal 1323 H/ 11 Juli 1905, jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di Kairo (Pemakaman Negara).[16]

Pemikiran Muhammad Abduh
Teologi Rasionalisme
            Teologi Rasionalisme yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh ini berisi tentang bagaimana ia memandang tentang Tuhan, agama, kitab suci, Nabi-Nabinya serta penciptaan seluruh makhluk Tuhan. Muhammad Abduh membagi alam ini menjadi dua, yakni alam wujud dan alam abstrak. Alam wujud adalah alam dimana kita tinggal sekarang ini dan alam abstrak adalah alam akhirat yang akan kita tempati setelah meninggal nanti. Teologi menurut pandangan Muhammad Abduh dapat digambarkan sebagai Tuhan berada di puncak alam wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang berada di dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan wahyu karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan kemahakuasaan-Nya. Manusia yang dimaksud oleh Muhammad Abduh di sini adalah kamu Khawas[17] yakni orang-orang yang terpilih dari golongan awam. Hal ini dikarenakan kemampuan akal yang dimiliki orang Khawas yang mampu mencapai Tuhan serta alam ghaib yang berada pada puncak tertinggi dari alam wujud.
Untuk mencapai pengetahuan tertinggi ini bisa melalui 2 cara, akal dan wahyu. Akal bagi Muhammad Abduh adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan hidupnya karena ialah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena itu, beliau selalu berbicara tentang pentingnya akal dan pentingnya manusia mengembangkan akalnya untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Begitu pun dalam masalah teologi. Ia tidak pernah meninggalkan akal sebagai dasar dari teologi.
             Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan didasarkan pada akal. Beliau sangat menekankan pentingnya memahami ayat dengan menggunakan akal. Menurutnya, pemikiran rasional adalah jalan untuk mendapatkan keimanan yang sejati. Keimanan bukan didasarkan pada pendapat semata, namun harus berdasar pada pemahaman. Akal yang dapat membawa manusia memahami apa yang sebenarnya disampaikan oleh Tuhan melalui agama dan wahyu. Agama memang membawa sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, namun, agama tidak mungkin membawa sesuatu yang mustahil dipahami oleh akal manusia. Jika memang agama mambawa sesuatu yang secara lahiriah terlihat bertentangan dengan nalar, akal harus meyakini bahwa yang dimaksud bukan arti harfiah melainkan ada maksud lain yang dibawa.
Selain itu, beliau juga sangat menolak sikap taklid. Terlebih jika sikap taklid itu ditujukan pada apa yang dikatakan oleh sang ulama. Beliau juga mengatakan bahwa Al-Qur’an telah mengajarkan manusia untuk terus menggunakan akal untuk mencari kebenaran yang hakiki, bukan hanya taklid pada wahyu semata. Beliau sangat menyesalkan timbulnya sikap taklid yang telah menjalar di setiap aspek kehidupan umat pada masa itu.
Kekuatan akal yang disampaikan oleh Muhammad Abduh tepatnya sangat berperan dalam permasalahan teologi berikut.
1.        Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya
2.        Mengetahui adanya hidup di akhirat
3.        Mengetahui bahwa kehidupan jiwa di akhirat tergantung pada kedekatannya dengan Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya tergantung pada jauhnya ia dengan Tuhan dan perbuatan jahat.
4.        Mengetahui penting dan wajibnya manusia mengenal Tuhan
5.        Mengetahui bahwa manusia memiliki kewajiban untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat demi kebahagiaannya di kehidupan akhirat nanti.
6.        Membuat hukum dan peraturan untuk kewajiban-kewajiban di atas.
Rincian di atas dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.

Keterangan :
M.T.S.       = Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya
M.H.A.      = Mengetahui adanya hidup di akhirat
M.B.J.        = Mengetahui Perbuatan Baik dan Jahat
M.W.T.T   = Mengetahui penting dan wajibnya manusia mengenal Tuhan
M.W.B.J.   = Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
M.H           = Membuat hukum dan peraturan untuk kewajiban-kewajiban diatas.

 (Nasution, 1987: 53-54)



            Pemikiran Teologi yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh ini memang berbeda dari teolog-teolog lain pada masanya. Muhammad Abduh lebih menekankan rasionalitas dari setiap pendapat-pendapatnya. Karena itu, beliau dianggap keluar dari apa yang digariskan oleh ajaran agama Islam. Gambar di atas menunjukkan bahwa Wahyu di dalam teologi menurut Muhammad Abduh tidak memiliki peranan yang begitu penting. Walaupun begitu, beliau tidak semata-mata meninggalkan wahyu dan langsung menolaknya.
            Menurut Muhammad Abduh, wahyu juga memiliki peranan penting di samping akal. Setidaknya ada 2 fungsi pokok yang dimiliki oleh wahyu dalam permasalahan teologi. Fungsi pokok pertama berkaitan dengan keyakinan manusia bahwa jiwa manusia akan selalu hidup setelah mati. Keyakinan ini bukan berasal dari khayalan atau tebakan manusia semata, melainkan berasal dari wahyu yang diturunkan oleh Tuhan melalui nabi-nabi yang diutus-Nya.
            Fungsi kedua berkaitan dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memerlukan sosialisasi dan bekerjasama dengan manusia lainnya dan untuk mewujudkan hal itu, manusia harus mampu menjaga kerukunan dan kedamaian dalam kelompok mereka. Sayangnya, keberagaman manusia sering menimbulkan konflik. Untuk itu, harus ada aturan yang mengatur seluruh manusia yang berisi keadilan yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh manusia sendiri karena manusia akan cenderung mencari kepuasan dan keadilan untuk diri mereka masing-masing. Karena itu, Tuhan mengirim nabi-nabi ke bumi yakni untuk mengatur masyarakat. Fungsi lain dari wahyu menurut Muhammad Abduh adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu.
            Dari sini, dapat kita lihat bahwa Muhammad Abduh adalah tokoh pemikir yang tidak pernah taklid bahkan pada pemikirannya sendiri. Beliau tidak semata-mata mendewakan akal dan kemudian meniadakan wahyu seperti apa yang dituduhkan orang-orang sekitarnya. Beliau tetap menjaga nilai-nilai ajaran agama Islam yang dianutnya dan mencoba menyandingkannya dengan pemikiran rasionalisne yang menurutnya merupakan metode paling efektif dalam  mencari kebenaran.

Pengaruh Teologi Rasionalisme dalam Rancangan Pendidikan yang diusulkan Oleh Muhammad Abduh
Dibesarkan dalam keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan, Muhammad Abduh berkembang menjadi pemuda yang cinta pada ilmu pengetahuan. Nampaknya karena inilah beliau sangat memperhatikan masalah pendidikan. Namun sejak kecil, Muhammad Abduh memang telah menunjukkan sikap kurang senang dengan pendidikan tradisional yang lebih mengutamakan hafalan dari pada mengulas sesuatu ilmu itu secara jelas dan rasional.[18] Bahkan, beliau pernah menyatakan dalam tulisannya bahwa hafalan justru akan merusak akal dan  nalarnya.[19] Karena inilah beliau mempunyai gagasan untuk mengubah sistem yang selama ini telah berjalan. Beliau ingin lebih menekankan metode pengajaran dengan diskusi dan penalaran. Menurutnya, diskusi lebih bisa mengembangkan akal dan pengetahuan peserta didik karena bisa mengungkapkan pendapatnya. Karena inilah, pemikiran yang dibawanya sering dijuluki dengan new mu’tazilah.
            Pemikirannya yang paling terkenal adalah adanya penyatuan antara ilmu agama dan ilmu umum dalam pendidikan. Menurutnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan.[20] Beliau menentang pemisahan antara sekolah yang didirikan oleh Islam dengan sekolah yang didirikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan atau pihak asing. Sejak pertama didirikannya sekolah formal oleh pemerintahan Muhammad Ali Pasha lewat kementrian pendidikan pertamanya, sekolah di Mesir terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama, yakni madrasah yang hanya akan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Lulusan dari sini biasanya nanti akan menjadi ulama’. Dan kubu yang kedua adalah sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan pihak Barat. Berkebalikan dengan kubu pertama, di sekolah ini, hanya akan diajarkan mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat mengganggu Muhammad Abduh selama ini. Bagi beliau, pendidikan agama dan umum sama-sama penting. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Semua umat Islam harus menguasai dua-duanya. Karena tanpa ilmu pengetahuan, umat islam akan ketinggalan jauh dari peradaban dunia yang sudah memasuki era modern. Namun, pelajaran agama juga tidak boleh ditinggalkan. Karena bagaimanapun juga, agamalah yang akan menuntun manusia dalam bersikap dan melakukan sesuatu. Tanpa agama, ilmu pengetahuan sehebat apapun akan sesat karena tidak ada arah tujuan penggunaannya untuk apa.
            Selain itu, Beliau memberikan perhatian lebih pada pendidikan wanita. Sistem pendidikan Mesir yang masih tradisional saat itu telah membatasi gerak wanita dalam berinterasi sosial, termasuk dalam mendapatkan pendidikan. Berpegang pada QS. Al-Ahzab ayat 35 serta QS. Al-Baqarah ayat 228, Muhammad Abduh berpendapat bahwa hak wanita dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah sama.[21] Wanita juga berhak untuk menambah pengetahuan sebanyak apapun yang mereka inginkan.[22]
            Dari uraian di atas, terlihat bahwa Muhammad Abduh tidak setuju dengan berbagai sistem yang dianut oleh masyarakat Mesir pada masa itu yang masih sangat tradisional. Terutama dengan sistem hafalan yang tidak akan mengembangkan pemahaman tentang apa yang dipelajarinya. Beliau menginginkan adanya pembaharuan, terutama dalam bidang pendidikan ke arah modern karena umat Islam saat ini sudah hidup pada masa modern. Sehingga masyarakat Mesir tidak akan tertinggal dengan perubahan serta pembaharuan yang telah terjadi di berbagai belahan bumi di luar Mesir.

Rancangan Sistem Pendidikan baru Muhammad Abduh  
 Muhammad Abduh membagi pendidikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat dasar (mubtadi’in), tingkat menengah (taqabat Al Wustha), dan tingkat tinggi (taqabat Al Ulya). Pembagian pendidikan ini berdasarkan tujuan dan tempat bekerja para pelajar. Pengklasifikasian ini juga didasarkan pada tingkat ketinggian akal seseorang. Hal ini dikarenakan dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh yang sudah saya disampaikan sebelumnya, manusia tidak lagi digolongkan sesu  ai dengan ketakwaannya, melainkan tingkat akal mereka.
Untuk tingkat dasar, pendidikan ditujukan kepada orang-orang yang nantinya akan mengabdikan dirinya untuk menjadi tukang, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang setara dengan mereka.[23] Kurikulum yang akan diterapkan di sini pun adalah yang paling ringan. Tingkat pertama bertujuan untuk memerangi buta huruf, maka di sini lebih ditekankan ilmu membaca, menulis, dan berhitung. Namun, tidak hanya itu. Di sini juga diajarkan mata pelajaran lain, yakni Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah.
            Tingkat Menengah ditujukan bagi orang-orang yang nantinya akan menjadi pegawai pemerintah baik sipil atau militer. Bermula pada keprihatinannya terhadap pegawai-pegawai pemerintah pada masa itu yang hanya memikirkan dirinya tanpa peduli dengan rakyatnya, Muhammad Abduh memberikan pendidikan yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang yang bertanggung jawawab nantinya. Dalam tingkat ini, Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah yang juga telah diajarkan dalam tingkat dasar lebih diperluas lagi bahasannya. Selain itu, di sini juga dbeliaujarkan Ilmu logika (fann al-mantiq), dasar-dasar penalaran (usul an-nazari) dan ilmu debat atau diskusi (adab al-jadal).[24]
Pendidikan tinggi ditujukan untuk mereka yang akan menjadi guru dan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Kurikulum yang diajarkan di sini adalah al-Qur’an al-Karim, Hadits, Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasar-dasar Diskusi, dan Ilmu Kalam.[25] Bagi Muhammad Abduh peran guru sangatlah penting dalam mempengaruhi pendidikan yang akan membentuk bangsa. Oleh karena itu, beliau menempatkan guru dalam tingkatan yang tinggi setara dengan para pemimpin dan penguasa negara. Beliau memilih Tafsir Al-Qur’an untuk diajarkan di sini karena menurutnya Al-Qur’an menyimpan rahasia kesuksesan umat terdahulu.[26] Untuk itu, para peserta didik haruslah mempelajari hal ini.
Selain kurikulum, Muhammad Abduh juga mengungkapkan adanya pihak-pihak yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan seseorang. Yang pertama, kepala sekolah. Menurutnya, kepala sekolah haruslah orang yang memiliki kapasitas pendidikan serta kepemimpinan yang memadai dan berkualitas. Yang kedua adalah guru. Seperti yang telah disebutkan, baginya guru adalah komponen terpenting adalam pembentukan siswa saat menjalani pendidikan. Bagaimana jenis siswa yang dihasilkan tergantung dengan bagaimana guru tersebut mengajar. Oleh karena itu, guru haruslah orang-orang yang memilki kapasitas untuk mengajar. Muhammad Abduh juga tidak melupakan unsur lain seperti orang tua murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa bekerjasama dengan mereka, suatu pendidikan tidak akan berhasil.[27]
Yang paling menjadi fokus Muhammad Abduh pada waktu itu adalah bagaimana menghapuskan adanya dualisme pendidikan[28] yang telah ada. Sehingga, tidak ada lagi pemisahan antara pemerintah dan ilmu pengetahuannya dan Islam dengan syari’atnya. Semuanya bisa berjalan secara seragam dan harmonis. Pemerintah pun paham tentang islam dan bisa menerapkannya dalam cara mereka memerintah dan Ulama’ pun melek pengetahuan dan tidak tertinggal dari peradaban dunia.
Dengan membawa pemikirannya yang berisi tentang sistem pendidikan baru untuk Mesir yang telah dibuatnya, Muhammad Abduh berusaha mendobrak tembok sistem pendidikan tradisional Mesir yang telah dibangun sejak Muhammad Ali berkuasa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beliau ingin agar ilmu-ilmu umum juga diajarkan dalam madrasah dan ilmu agama juga diajarkan dalam sekolah pemerintah. Namun, ternyata kenyataan tidak berpihak pada Muhammad Abduh. Pemikiran yang beliau bawa ditolak oleh para ulama’ karena dikhawatirkan cenderung kepada Barat. Pemikirannya yang memang cenderung ke arah pembaharuan dan modernisasi dianggap bergerak menuju pendidikan sekuler, sehingga tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka tidak ingin ilmu-ilmu umum seperti logika masuk kepada siswa-siswanya dan merusak akhlaknya.
Beliau juga mendapatkan tentangan dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu, karena kurikulum agama yang ingin beliau ajarkan di sekolah pemerintah membuat mereka tidak lagi leluasa dalam berbuat maksiat. Misalnya saja tentang wakaf. Pemerintah tidak setuju dengan adanya konsep untuk mendirikan institusi wakaf yang diusung oleh Muhammad Abduh.[29] Alasannya tentunya hanya ada satu. Jika institusi wakaf ini didirikan maka uang yang akan masuk kantong mereka berkurang.
Sikap penolakan ini sesungguhnya merupakan hasil dari statisnya sikap masyarakat Mesir pada masa itu yang masih terjerat dalam pola pikir tradisional. Namun, hal ini bisa juga merupakan hasil dari traumatis masyarakat mengingat banyaknya negara sekitarnya yang akhirnya dipimpin secara sekuler setelah dimasuki pemikiran Barat.
Dalam keadaan yang sangat mengecewakan tersebut, akhirnya Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal dunia. Alhasil, pemikiran tentang sistem pendidikan yang dibawanya belum dan tidak pernah sempat diterapkan dalam pendidikan formal Mesir. Namun, lebih dari itu, ternyata Muhammad Abduh telah memberikan pengajaran bagi siswa-siswa yang sangat tepat. Penerusnya, seperti Rasyid Ridla[30] dan Hasan Al-Banna[31] adalah potret dari produk sistem pendidikan yang dibuat oleh Muhammad Abduh.[32] Mereka yang akhirnya menjadi tokoh besar di Mesir dan dunia yang sesungguhnya menjadi bukti bagaimana hasil dari sistem pendidikan Muhammad Abduh.

Relevansi Pemikiran Muhammad Abduh dengan Masa Kini
                 Setelah merenungkan pemikiran Muhammad Abduh menenai teologi dan rasionalisme, bahwa teologi tidak boleh terpisah dari rasionalisme, saya setuju dengan hal tersebut. Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir. Menurut saya, akal itu bukan akan menghancurkan wahyu, melainkan ia akan menguatkan wahyu asalkan kita menggunakannya dengan benar. Sejalan dengan hal tersebut, saya juga sangat setuju dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai pendidikan. Menurut saya, pendidikan agama maupun pendidikan umum sama-sama penting untuk dipelajari. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Orang-orang yang sangat mahir dalam bidang agama tidak boleh lupa bahwa mereka hidup di dunia yang sangat membutuhkan ilmu-ilmu tentang keduniaan. Jangan sampai orang-orang seperti ini buta akan ilmu pengetahuan dan akhirnya terasing dari peradaban dunia yang semakin maju dan modern. Begitupun sebaliknya, mereka yang sangat mengagungkan ilmu pengetahuan juga tidak boleh lupa dengan agama yang memang membawa nilai-nilai kebenaran sehingga ilmu pengetahuan yang mereka pelajari tidak akan keluar dari jalur kebenaran tersebut dan tidak mengganggu serta merugikan manusia lainnya.
Selain itu, sistem pendidikan yang telah dicetuskan oleh Muhammad Abduh menurut saya juga sangat menarik untuk dikomparasikan dengan sistem pendidikan Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa kasus yang terjadi di Mesir seperti pemisahan pendidikan agama dan umum masih terjadi juga di Indonesia. Misalnya, adanya lembaga pendidikan Islam yang tidak ingin memasukkan ilmu umum dalam kurikulum mereka. Sebenarnya, untuk masalah seperti ini memang tergantung pada prinsip serta tujuan dari lembaga tersebut. Kita tidak memiliki hak untuk melarang apa yang memang menjadi tujuan mereka. Misalnya, ada lembaga Islam yang tujuannya memang untuk mencetak penghafal kitab suci Al-Qur,an atau lembaga pendidikan agama non-Islam mungkin yang memang memiliki tujuan untuk mencetak pemimpin-pemimpin agama,  kita tentu saja tidak memiliki hak untuk memaksa lembaga tersebut memasukkan ilmu-ilmu dunia. Menurut saya, yang harus kita ubah saat ini adalah paradigma dalam masyarakat Indonesia sendiri. Ilmu, baik agama maupun umum tidak harus kita dapatkan dari satu lembaga formal saja. Ilmu tersebut bisa kita dapatkan dimana saja jika kita mau mencarinya sendiri. Untuk itu, paradigma masyarakat mengenai pentingnya akal dan  rasionalisme tanpa meninggalkan agama, dan begitupun sebaliknya, pentingnya agama tanpa meninggalkan akal dan rasionalisme harus ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga masyarakat akan lebih memiliki inisiatif untuk meningkatkan ilmu agama serta ilmu umum sendiri tanpa menunggu adanya lembaga yang akan mengakomodasi semuanya sekaligus
Terakhir, saya ingin mengkritisi salah satu bagian dari konsep sistem pendidikan Muhammad Abduh, yakni bagian pengkastaan. Menurut saya, sistem kasta dalam pendidikan seperti yang ingin diterapkan oleh Muhammad Abduh sudah tidak relevan lagi dengan masa kini. Walaupun memang kasta yang diterapkan disesuaikan dengan tujuan dari masing-masing individu, namun hal ini akan membatasi kemampuan seseorang. Sekarang sudah bukan saatnya manusia dibatasi dengan satu kemampuan saja. Tantangan hidup yang semakin berat mengharuskan setiap manusia yang ada di bumi ini mengetahui berbagai lini kehidupan sehingga mampu bersanding dan bahkan bersaing dengan manusia lainnya. Pembatasan dalam pendidikan ini akan membuat mereka hanya pasrah dengan keadaan mereka tanpa mau mengembangkan diri dan meraih sesuatu yang lebih dari yang mereka miliki saat ini padahal seharunya mereka bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan pengkastaan dalam bidang pendidikan seperti yang diterapkan oleh Muhammad Abduh.

Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai “Teologi Rasionalisme serta Pengaruhnya terhadap Modernisasi Pendidikan Mesir yang dibawa oleh Muhammad Abduh” dapat kita simpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah seseorang yang memang tepat jika dijuluki sebagai tokoh pembaharu Mesir. Beliau berani mendobrak sistem tradisional yang pada waktu itu sudah kuat mengakar dalam masyarakat Mesir. Lebih dari itu, beliau berhasil memberikan warna baru dalam dunia pemikiran dan pendidikan di Mesir yang pada masa itu masih sangat tradisional dengan menerapkan metode diskusi dalam proses pembelajarannya dan memperkenalkan pentingnya akal serta pemahaman dari setiap apa yang dipelajari. Beliau memang tidak pernah menelurkan buku tentang pemikiran rasionalisme, namun, beliau adalah rasionalis sejati.
Walaupun pemikirannya tidak sempat mendapatkan tempat di Mesir, dan tidak dapat diterapkan secara formal, beliau tetap memberikan sumbangan pemikiran yang begitu berharga bagi pembaharuan pendidikan Mesir pada khususnya dan dunia pada umumnya. Beliau tetap berhasil mencetak ulama’-ulama’ besar islam lewat pemikirannya tersebut. Melalui murid-muridnya inilah kita bisa melihat bagaimana Muhammad Abduh dengan sistem pendidikannya yang dianggap gagal dan ditolak mentah-mentah untuk diterapkan, ternyata dapat mencetak tokoh-tokoh besar muslim dunia. Dengan kata lain, usaha yang dilakukan oleh Muhammad Abduh selama ini tidaklah sepenuhnya sia-sia. Walaupun beliau memang tidak sepenuhnya bisa mewujudkan tujuannya, tapi jika kita melihat dari ‘produk’ yang telah dihasilkan dari proses pendidikan Muhammad Abduh, sebenarnya pemikiran Muhammad Abduh menjadi salah satu dasar atau pondasi dari pemikiran ulama’ besar Islam yang sangat berpengaruh pada kemajuan umat Islam setelahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Fadhullah Jamil, Madya. 2000. Islam di Asia Barat Modern. Selangor Darul Ehsan: thinker’s library SDN BHD.
K. Hitti, Philip. 2002. History of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press
Sedwick, Mark. 2010. Makers of The Muslim World: Muhammad Abduh. Oxford: OneWorld Publications.
Yasmansyah. 2006. Muhammad Abduh dan Usaha pembaharuan Pendidikan Mesir. Padang: IAIN Imam Bonjol.




[1] Muhammad Ali Pasha memerintah Mesir pada tahun 1805 setelah berhasil merebut Mesir dari Perancis dengan bantuan  Inggris
[2] Gerakan persatuan umat muslim dunia yang diketuai oleh Jamaludin Al Afghany
[3] H. Sahrah, antologi tesis: Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi, 3 http://www.google.co.id/search?q=H.+Sahrah%2C+antologi+tesis%3A+Pemikiran +Pendidikan+Muhammad+Abduh+Sebagai+Strategi+Modernisasi%2C+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
[4] Yasmansyah, Muhammad Abduh dan Usaha pembaharuan Pendidikan Mesir (Padang: IAIN Imam Bonjol,2006), 3
[5] Mesjid Ahmadi dianggap nomor dua setelah Universitas al-Azhardari segi tempat belajar al-Quran dan menghafalnya. Disini beliau selama 2 tahun, selain memperlancar hafalannya, beliau juga belajar bahasa Arab, Nahu, Sharaf dan sebagainya. ibid
[6] Ibid
[7] Ibid, 4
[8] Ibid, dikutip dari Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manar 1931),I,h.20 selanjutnya disebut Tarikh I
[9] Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) adalah salah seorang tokoh politik dan pembaharu di Mesir. Beliau berasal dari Afghanis dan pernah tinggal di India, Persia dan Mesir. Beliau belajar di Kota suci Najaf dan Karbala  dan ada yang menyebutnya sebagai penganut mazhab Syi’ah. Beliau mencoba untuk mengadakan pembaharuan di negeri-negeri yang umumnya bermazhab sunni, terutama dalam bidang politik. Beliau belajar filsafat Arab kuno dan barat modern. Ahmad Fuad Al –Ahwani menyebutnya sebagai mata rantai filsafat isyraqiyyah yang ada di Iran. Lihat, Ahmad Fuad Al-Ahwani, al-Falsafat al-Islamiyyat (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h.23, lihat juga al-Bert Hourani Arabic Thougt in the liberal Age  (London: Oxford University, 1962), h.108, ibid., 5
[10] Sahrah loc. cit., 3
[11]Al-Waqai’ al-Misriyah telah dimulai penerbitannya sejak masa Muhammad Ali Pasha berkuasa (1805-1849) dengan at-Tahtawi sebagai ketuanya, Sahrah, loc.cit., 4
[12] Sahrah, loc. cit., 4
[13]Pemberontakan Urabi adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintahan Taufiq yang pro-Barat yang dipimpin oleh Ahmad Urabi Pasha. Mereka terdiri dari orang Mesir asli atau fellahi.  Terjadi pada tahun 1881 hingga 1882, mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan pemerintah. Namun, karena pemerintah mendapat bantuan dari Inggris, akhirnya pada tahun 1882 pemberontak ini diusir dari Mesir, termasuk Muhammad Abduh. Lihat
[14] hakim
[15] Sahrah, loc.cit., 5
[16] Yamansyah, loc. cit., 8
[17]  Muhammad Abduh telah membagi manusia menjadi 2 golongan, yakni orang khawas dan orang awam. Orang khawas merupakan sebagian kecil orang yang terpilih di antara orang-orang awam. Mereka memiliki akal sempurna dan pandangan yang tajam walaupun tidak menerima hidayah sebagai Nabi-Nabi.
[18] Madya Fadhullah Jamil, Islam di Asia Barat Modern, (Selangor Darul Ehsan: thinker’s library SDN BHD, 2000)
[19] Yamansyah, loc. cit., 4 dikutip dari Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam al Syaikh Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manar 1931),I,h.20 selanjutnya disebut Tarikh I
[20] Philip K.Hitti, History of The Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 2002), 966
[21] Yamansyah, loc.cit., 19
[22] Pemikiran ini menjadi inspirasi salah satu penerusnya , yakni Qasim Amin, orang pertama yang menyerang poligami perceraian dan penggunaan jilbab, lihat Philip K.Hitti, History of The Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 2002) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)
[23]Sahrah, loc. cit.,5
[24] Sahrah, loc. cit., 8
[25] Sahrah, loc. cit., 9
[26] Sahrah, loc. cit., 9
[27] Sahrah, loc. cit., 12
[28] Lihat hal. 8 tentang pemikiran Muhammad Abduh
[29] Yamansyah, loc. cit., 8
[30] Lahir di Kalamon Utara dan pergi ke Mesir pada 1897, menyunting karya-karya Muhammad Abduh, menulis biografinya, dan mempublikasikan tradisinya di majalah Al-Manar, lihat
[31] Pendiri Ikhwanul Muslimin (organisasi persatuan muslim terbesar), beliau menggabungkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla sebagai salah satu referensi pemikirannya, lihat film Who killed Hasan al-Bana, ep. 1
[32] Mark sedwick, Makers of The Muslim World: Muhammad Abduh (Oxford: OneWorld Publications: 2010), xii