Haniatur Rosyidah/ Program Studi Arab/ FIB 2010
A. Asal Mula Kesultanan Banten
Kesultanan Banten awalnya hanya sebuah kadipaten yang
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran yang
bercorak Hindu.[1]
Wilayah kerajaan ini merupakan salah satu wilayah yang berpengaruh dalam jalur
perdagangan internasional.[2]
Banten merupakan salah satu pelabuhan terpenting kerajaan ini dan wilayah lain,
di antaranya, Pontang, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Ekspor utama
pelabuhan Banten adalah lada dan beras. Posisi Banten yang sangat strategis
membuat wilayah ini menjadi
tempat transit pedagang dari negara-negara lain seperti Maladewa
serta kerajaan-kerajaan
lain.[3]
Pada tahun
1522 Jorge d’ Albuquerque, Gubernur Portugis di Malaka, mengirim Henrique menemui
Raja Samiam[4] di Sunda
untuk mengadakan perjanjian dagang dengannya. Pada tanggal 21 Agustus
kesepakatan dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa akhirnya disepakati. Dalam
perjanjian ini, Kerajaan Sunda berkewajiban membayar 1000 bahar lada setiap
tahunnya dan Kerajaan Sunda Padjajaran memberikan sebuah wilayah untuk dijadikan benteng
Portugis. Sebagai imbalannya, Portugis akan melindungi Kerajaan Sunda Padjajaran dari
serangan Kerajaan Islam yang saat itu telah berkembang di Pulau Jawa bagian tengah.[5]
Akhrinya, Portugis diberikan izin untuk mendirikan kantor dagang di Sunda
kelapa.
Perjanjian dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa tersebut tidak
berhasil. Hal ini dikarenakan pada tahun 1925 wilayah Banten berhasil direbut
dari kekuasan Sunda Padjajaran oleh pasukan dari Kesultanan Demak, salah satu
kerajaan Islam di pulau Jawa.[6] Pasukan ini dipimpin oleh seorang guru besar serta
panglima militer yang handal yang berasal dari sebenarnya berasal dari Pasai,
yaitu Fatahillah. Beliau diutus langsung oleh Kerajaan Demak yang saat itu
diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Trenggono. Alasan mengapa
Fatahillah diutus untuk menaklukkan Jawa Barat sebenarnya adalah untuk
menghalau pengaruh Portugis yang saat itu sudah melakukan perjanjian dagang
dengan kerajaan Sunda Padjajaran.[7]
Pada tahun 1526, Sultan Trenggono mengutus Syarif
Hidayatullah beserta pasukannya untuk menaklukkan Jawa Barat agar Portugis
tidak dapat memasuki wilayah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh
Fatahillah beserta pasukannya berhasil. Wilayah Banten akhirnya jatuh ke tangan
Kesultanan Demak. Sebagai orang yang memimpin penaklukan tersebut, Syarif
Hidayatullah langsung diberikan wewenang oleh Sultan
Trenggono untuk memimpin wilayah Banten.[8]
Pada tahun 1552, Syarif Hidayatullah diharuskan kembali
ke Cirebon. Cirebon merupakan wilayah yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah
sebelum Banten. Setelah berhasil menaklukkan Banten, Syarif Hidayatullah
diperintahkan oleh Sultan Trenggono untuk mengatur wilayah tersebut sehingga
wilayah Cirebon diserahkan kepada salah seorang putra dari Syarif Hidayatullah yang bernama Pangeran Pasarean.[9] Namun, putra yang diberikan mandat untuk memimpin wilayah
Cirebon tersebut wafat mendahului ayahnya. Alhasil, Syarif Hidayatullah pun hijrah
ke Cirebon untuk menggantikan putranya tersebut. Daerah Banten diserahkan
kepada putra lainnya yang bernama Hassanudin.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono, Sultan kerajaan Demak
gugur dalam penyerangan Kerajaan Demak ke Pasuruan. Hal ini menyebabkan terjadinya
kekacauan dalam tubuh Kerajaan Demak sendiri. Negara-negara bagian atau
kadipaten berusaha untuk memisahkan diri.[10] Kerajaan Banten yang saat itu dipimpin oleh Hassanudin
merupakan salah satu kadipaten yang ikut berusaha melepaskan diri dari kerajaan
induknya, Demak. Akhirnya pada tahun 1568, Banten benar-benar terlepas dari
kerajaan Demak. Pada tahun tersebut pula, Kerajaan Banten resmi berdiri dengan
Maulana Hassanudin sebagai Sultan pertamanya.[11]
B. Masuknya Islam ke Banten
Islam telah memasuki wilayah Banten sebelum Kesultanan
Banten berdiri. Agama ini dibawa oleh para pedagang Arab pada akhir abad ke-15.[12] Karena itu, posisi Banten sebagai jalur perdagangan
internasional sangat menentukan dalam penyebaran Islam ke tanah Banten ini.
Setelah itu, Islamisasi di Banten dilanjutkan oleh
seorang pemuda yang bernama Syarif Hidayatullah.[13] Beliau adalah cucu dari Prabu Siliwangi dari putrinya
yang menikah dengan seorang pemimpin Ismailiyyah. Syarif Hidayatullah yang saat
itu baru kembali ke tanah kelahiran ibundanya, Cirebon, mulai berdakwah di tanah
Pasundan. Di Banten, beliau menikah dengan adik dari
Bupati setempat yang bernama Nyai Kawunganten. Dari penikahannya ini, lahirlah
dua anak, yakni Ratu Winahon dan Hassanudin.[14] Bersama putranya, Syarif Hidayatullah menyebarkan agama
Islam hingga ke arah Gunung Pulosari.[15]
Setelah Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon,
perjuangan dakwah Islam di Banten dilanjutkan oleh Hassanudin. Beliau berkelana
dari Gunung Pulosari hingga Ujung Kulon. Dalam menyebarkan ajaran Islam,
Hasanuddin menggunakan budaya penduduk setempat.[16] Karena itu, dakwahnya cepat diterima oleh masyarakat.
Cara ini terus dilakukan oleh Hasanuddin hingga pada tahun 1525, beliau
berhasil merebut kekuasaan Banten dari kerajaan Sunda Padjajaran dan
mendirikan Kesultanan Islam.[17] Mulai saat itu, Islam disebarkan di Banten melalui
kekuasaan.
C. Raja- Raja Kesultanan Banten
Sultan pertama yang
memerintah Banten adalah Sultan Maulana Hasanudin. Beliaulah yang berhasil
membebaskan Banten dari kekuasaan Kerajaan Demak. Maulana Hasanudin kemudian
mengubah wilayah yang semula hanyalah sebuah kadipaten tersebut menjadi
kesultanan.
Sultan Maulana
Hasanudin adalah putra dari Syarif Hidayatullah, tokoh penaklukan Banten dari
Kerajaan Sunda Padjajaran. Maulana Hasanudin memerintah dari tahun 1552 hingga
1570. Selama pemerintahannya, Sultan Maulana Hasanudin lebih fokus pada
perluasan wilayah perdagangan dan tata keamanan kota. [18]
Sultan kedua yang
memimpin Banten adalah Maulana Yusuf. Beliau adalah putra pertama dari Sultan
Maulana Hassanudin dengan seorang putri Sultan Trenggono. Sama seperti ayahnya
yang menggantikan kakeknya, beliau juga mewarisi tahta ayahnya. Sedangkan
adiknya, Sunan Parwoto, menjadi Pangeran Jepara.[19] Maulana Yusuf memerintah selama 10 tahun mulai tahun
1570 hingga akhir hayatnya pada tahun 1580.
Sultan ketiga yang
memegang tampuk pemerintahan Banten adalah Maulana Muhammad, putra Maulana
Yusuf. Beliau diangkat menjadi seorang Sultan pada usia yang sangat muda.[20] Hal ini menyebabkan adanya perseteruan antara dirinya
dan pamannya, yakni Pangeran Jepara. Alhasil, pada masa pemerintahannya,
Maulana Muhammad harus menghadapi perlawanan dari pamannya sendiri. Namun,
dengan dukungan ulama-ulama Banten, Maulana Muhammad berhasil membendung
serangan Pangeran Jepara. Beliau pun dapat mempertahankan tahtanya.[21]
Sultan lainnya yang
pernah memerintah Kesultanan Banten antara lain: 1. Sultan Abdul Mufahir Mahmud
Abdul Kadir (1605-1640), 2. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (1640-1650), 3. Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1682), 4. Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji
(1682-1687), 5. Abdul Fadhl atau Sultan Yahya (1687-1690), 6. Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733), 7.
Muhammad Syifa Zainul Ar atau Sultan Arifin (1733-1750), 8. Muhammad Wasi
Zainifin (1750-1752), 9. Syarifuddin Artu Walikul Alimin (1752-1753), 10.
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773), 11. Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin
(1773-1799), 12. Muhyidin Zainush Sholihin (1799-1801), 13. Muhammad Ishaq
Zainul Muttaqin (1801-1802), 14. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803), 15.
Aliyuddin II (1803-1808) , 16. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809), dan 17.
Muhammad Syafiuddin (1809-1813).[22]
D.
Masa Kejayaan Kesultanan Banten
Banten
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Kejayaan tersebut berhasil diraih dalam berbagai bidang seperti politik,
ekonomi, perdagangan, kebudayaan, maupun keagamaan.[23]
Dalam bidang politik misalnya, Banten selalu membangun hubungan persahabatan
dengan daerah-daerah lainnya. Daerah-daerah sahabat Banten yang berada di
wilayah nusantara antara lain Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Selain
itu, Kesultanan Banten juga menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara
lain yang jauh dari nusantara. Salah satunya adalah dengan mengirim utusan
diplomatik ke Inggris yang dipimpin oleh Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya
Sedana pada 10 November 1681.[24]
Dalam
bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengembangkan perdagangan
Banten. Pada masanya, Banten menjadi salah satu tempat transit utama
perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari berbagai negara,
seperti Inggris, Perancis, Denmark, Portugis, Iran, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina,
Malayu, dan Turki datang ke sini untuk memasarkan barang komoditas dari negeri
mereka.[25] Walaupun saat itu Banten menghadapi persaingan dengan
VOC, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa tetap mampu menarik pedagang mancanegara
tersebut untuk tetap berdagang di Banten. Hal ini disebabkan Banten
tidak menerapkan monopoli perdagangan seperti yang dijalankan oleh VOC.[26]
Sultan
Ageng Tirtayasa juga mendirikan keraton baru di wilayah Tirtayasa untuk
memperkuat pertahanan kesultanannya. Dengan pembangunan keraton ini, wilayah
Tirtayasa terus dibuka. Beliau membangun jalan dari Pontang ke
Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan Ageng juga membuka lahan-lahan persawahan
sepanjang jalan tersebut serta mengembangkan pemukiman warga di daerah Tangerang.[27]
E.
Keruntuhan Kesultanan Banten
Pada
masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, Belanda sudah memulai taktik untuk
menghancurkan Banten dari dalam, yakni dengan menghasut Sultan Haji, putra dari
Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka
menyebarkan isu bahwa orang yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah
Pangeran Purbaya saudara Sultan Haji.[28] Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri hati dan
memutuskan untuk melancarkan serangan melawan ayahnya sendiri.
Dengan
bantuan Belanda, Sultan Haji akhirnya dapat melumpuhkan kesultanan Banten.
Bahkan, karena peperangan antara ayah dan anak ini, Keraton
Surosowan yang dibangun oleh nenek moyangnya hancur rata dengan tanah. Sultan
Ageng Tirtayasa akhirnya dipenjara di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692.[29] Alhasil, Sultan Haji yang bekerja sama dengan Belanda
pun naik tahta.
Sejak
saat itu, Kesultanan Banten sangat dipengaruhi oleh Belanda. Terlebih lagi
setelah Sultan Haji mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda. Namun,
perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Haji dengan Belanda ini justru merugikan
Sultan Haji. Beliau harus membayar 12.000 ringgit dan menyetujui pendirian
Benteng Speelwijk. Akibatnya, ekonomi
dan politik Banten di monopoli oleh Belanda. Pergantian sultan selalu dicampuri
dengan kepentingan Belanda. Pemberontakan pun terus terjadi. Kesultanan Banten
perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran.[30] Puncaknya, pada tahun 1808 Belanda menghancurkan Istana
Surosowan dan menggantinya dengan Kabupaten Serang, Waringin, dan Lebak di bawah
pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1813, Pemerintahan Inggris membubarkan
Kesultanan Banten dan Pangeran Syafiudin yang sedang berkuasa dipaksa untuk
turun tahta. Saat itulah Kesultanan Banten runtuh.[31]
F. Peninggalan Kesultanan Banten
Peninggalan pertama
dari Kesultanan Banten adalah Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten dibangun
oleh Sultan Banten, yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf pada bulan Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M.[32] Masjid Agung ini merupakan salah satu peninggalan yang
sangat penting dikarenakan itu adalah salah satu dari 4 komponen utama yang “wajib” ada di pusat kota Jawa zaman
dahulu.[33] Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan
Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.[34]
Masjid Agung Banten
memiliki keunikan arsitektur tersendiri. Hal ini dikarenakan Masjid Agung
Banten dirancang oleh tiga orang arsitek yang berasal dari tiga bangsa yang
berbeda. Tiga orang arsitektur tersebut adalah Raden Sepat, seorang arsitek
yang berasal dari Majapahit yang juga menggarap Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut
yang berasal dari Cina serta Hendrik Lucaz Cardeel, seorang Belanda yang sudah
masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan. Masjid ini memiliki tiga corak
arsitektur yang berbeda. Yang pertama, arsitektur lokal yang bisa terlihat dari
empat sakaguru yang menopang masjid ini. Di tengahnya terdapat mimbar berukiran
lokal. Arsitektur kedua adalah Cina yang terlihat dari bentuk atap paling atas
masjid yang khas dengan bentuk atap Cina. Selain menegaskan kebudayaan Cina,
atap masjid yang bertingkat lima juga menyimbolkan rukun Islam. Arsitektur yang
ketiga adalah Belanda yang dipoleskan pada Menara setinggi 24 m yang berdiri
tegak di sebelah timur
masjid.[35] Dengan model tangga spiral serta kepala dua tingkatnya, menara ini
menjadi pelengkap tiga kebudayaan yang diabadikan. Pada zaman dahulu menara ini
difungsikan untuk mengumandangkan adzan serta sebagai menara
pandang lepas pantai atau mercusuar.[36] Karena hasil karyanya ini, dua dari mereka dianugerahi
gelar Bangsawan yaitu Tjek Ban Tjut yang diberi nama Pangeran Adiguna dan
Hendrik Lucaz Cardeel dengan nama Pangeran Wiraguna.
Selain
bangunan-bangunan di atas, di kompleks masjid ini juga ada sebuah paviliun di
sebelah selatan masjid yang bernama Tiyamah. Bangunan ini berbentuk persegi empat bertingkat.
Bangunan ini biasanya digunakan untuk musyawarah tentang permasalahan
keagamaan. Di kawasan ini terdapat juga makam Raja- raja Kesultanan Banten.[37] Kini masjid ini menjadi salah satu objek wisata yang
padat dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang biasanya bermaksud
untuk berziarah. Namun, tidak jarang juga masjid ini menjadi tujuan bagi
turis-turis asing yang ingin melihat keindahan sisa-sisa kejayaan Kesultanan
Banten.[38]
Peninggalan
lain dari Kesultanan Banten adalah Keraton Surosowan. Keraton Surosowan pertama kali didirikan oleh Sultan Hassanudin
(1552-1570).[39] Nama Surosowan diberikan oleh sultan sendiri dengan petunjuk
dari ayahnya, Sunan Gunung Jati.[40] Surosowan juga memiliki nama-nama lain seperti gedong
kedaton Pakuwuan dan "Fort Diamond" yang berarti kota intan.
Nama “Fort Diamond” diberikan oleh orang-orang Belanda.[41]
Sejak
pertama kali dibangun, Keraton Surosowan telah mengalami berbagai perubahan
bentuk. Mengikuti pola yang sama dengan pusat kota Jawa pada umumnya, keraton
ini terletak di sebelah selatan alun-alun dengan masjid di sebelah barat
keraton, pasar karatangu di sebelah timurnya, dan dilengkapi dengan pelabuhan
yang ada di sebelah utara.[42]
Di keraton ini juga diletakkan sebuah batu keramat yang juga terdapat di
alun-alun bernama Watu Gilang. Konon, batu ini merupakan mandat dari Sunan
Gunung Jati. Jika batu ini bergeser dari tempatnya, itu berarti tidak lama lagi
Kesultanan Banten akan mengalami keruntuhan. Pada tahun 1596, keraton ini masih
terlihat sangat sederhana yakni berupa bangunan rumah yang dikelilingi oleh
pagar dan beberapa bangunan yang berada di selatan alun-alun.[43]
Pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Keraton ini mengalami kehancuran
total hingga rata dengan tanah akibat adanya perang antara Sultan dengan
anaknya sendiri yakni Sultan Haji. Setelah Sultan Haji naik tahta, keraton Surosowan
dibangun kembali dengan bantuan Belanda. Bangunan ini
dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang bernama Hendrik Lucaszoon
Cardeel pada tahin 1680-1681. Namun, pada tahun 1808, keraton ini kembali
dihancurkan oleh Belanda setelah terjadi perselisihan antara Sultan dengan Belanda.
Dan sekarang sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan ini kita lihat di Kampung
Kasemen, kecamatan Kasemen, kabupaten Serang.[44]
Selain
dua peninggalan di atas, masih ada beberapa peninggalan lainnya. Salah
satunya adalah Benteng Speelwijk. Benteng ini didirikan pada tahun 1684-1685.
Namanya diambil dari nama seorang gubernur Jenderal VOC yang bernama Speelma.
Bangunan ini diarsitekturi oleh Hendrik Lucaszoon Cardeel yang juga
merancang arsitektur Masjid Agung Banten.[45]
Benteng Speelwijk merupakan lambang keruntuhan kedaulatan dan
independensi Kesultanan Banten. Dengan didirikannya benteng ini oleh VOC,
berarti Kesultanan Banten sudah berada di bawah kendali VOC.
Daftar
pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia: Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2009.
Laporan Jurnalistik Kompas. Ekspedisi Anjer Panaroekan
: Laporan Jurnalistik Kompas : 200 Tahun Anjer Panaroekan, Jalan untuk
Perubahan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2008.
Hendarsah, Amir. Cerita Kerajaan Nusantara. Yogyakarta :
Great! Publisher
Prasetyo, Deni. Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama. 2009.
Yulianingsih, Tri Maya dan Ratino. Jelajah Wisata
Nusantara. Jakarta: Niaga Swadaya. 2010.
Permana, R. Cecep Eka. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8,
No.3, Kajian Arkeologi Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. 2004.
H. Lubis, Nina. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
[1] Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008,
hlm. 65
[2] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 53
[3] Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008,
hlm. 65
[5] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 54
[6] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 54
[18] Laporan Jurnalistik Kompas, Ekspedisi Anjer
Panaroekan : Laporan Jurnalistik Kompas : 200 Tahun Anjer Panaroekan, Jalan
untuk Perubahan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta : 2008, hlm. 39
[22] Deni
Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2009, hlm. 83
[23] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 68
[24] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 70
[27] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara , Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009, hlm. 70
[28] Deni
Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2009, hlm. 82
[30] Deni
Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2009, hlm. 82
[31] Deni
Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2009, hlm. 83
[32] Abdul Baqir
Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 164
[33] Tri Maya
Yulianingsih dan Ratino, Jelajah Wisata Nusantara, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010, hlm. 140
[34] Tri Maya
Yulianingsih dan Ratino, Jelajah Wisata Nusantara, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010, hlm. 140
[35] Abdul Baqir
Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 164
[36] Tri Maya
Yulianingsih dan Ratino, Jelajah Wisata Nusantara, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010, hlm. 140
[37] Tri Maya
Yulianingsih dan Ratino, Jelajah Wisata Nusantara, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010, hlm. 140
[38]Tri Maya
Yulianingsih dan Ratino, Jelajah Wisata Nusantara, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010, hlm. 140
[39]R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi Mengenai
Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, 2004, hlm. 112
[40] R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi
Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, 2004, hlm. 114
[41] R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi
Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, 2004, hlm. 114
[42] R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi
Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, 2004, hlm. 114
[43] R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi
Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, 2004, hlm. 115
[44] R. Cecep Eka
Permana, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.3, Kajian Arkeologi
Mengenai Keraton Sorosowan Banten Lama, Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, 2004, hlm. 114
0 komentar:
Posting Komentar