Oleh
Haniatur Rosyidah
1006698774
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh
dilahirkan pada tahun 1848/ 1265 H di sebuah perkampungan bernama Mahallah
Nasr, di propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairullah
seorang petani berdarah Turki, sedangkan ibunya Yatimah binti Utsman al-Kabir
mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar Ibn al Khatab.[3]
Keluarganya
merupakan keluarga yang cinta ilmu pengetahuan. Pendidikan dasarnya seperti
membaca dan menulis beliau dapatkan dari orang tuanya sendiri. Sedangkan untuk
Al-Qur’an, beliau belajar dari seorang Hafidz dan dalam dua tahun beliau sudah
hafal Al-Qur’an.[4] Setelah usianya 10 tahun sang ayah mengirimnya
untuk belajar al-Qur’an di Masjid Ahmadi[5]
kota Thanta yang terkenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an. [6]
Selama belajar di
Thanta, beliau merasa kecewa karena pendidikan di Thanta hanya mementingkan hafalan dan hafalan. Beliau
memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan
menikah. Namun, niatnya ini tidak disetujui oleh orang tuanya. Beliau
diminta untuk kembali ke Thanta. Dalam perjalanan menuju Thanta, beliau berubah
pikiran dan mengubah arahnya ke sebuah desa tempat tinggal pamannya yaitu
Syeikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh), Syekh Darwsy tahu
sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka beliau selalu
membujuk Muhammad Abduh supaya membaca buku bersama dengannya.[7]
Yamansyah mengungkapkan, Muhammad Abduh menceritakan
sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution dari kitab Muzakirat al-Iman
Muhammad Abduh, bahwa beliau pada
saat itu benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwsy beliau lempar
jauh-jauh. Buku itu dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh,
Darwsy selalu sabar menghadapi Abduh, dan akhirnya M.Abduh mau juga membaca
buku tersebut beberapa baris. Setiap
barisnya Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang
dikandung kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap
buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham
dengan apa yang dibacanya, kemudian beliau
kembali ke Thanta yaitu pada bulan
oktober 1865 M/ 1286 H.[8]
Enam bulan di Thanta tidak cukup untuk membuatnya merasa
nyaman. Akhirnya, beliau memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Al azhar
dan berharap mendapatkan sistem pendidikan yang beliau inginkan di sana. Namun,
kenyataannya ternyata berbeda. Beliau juga mendapatkan kekecewaan yang sama
seperti selama di Thanta. Karena hal ini, Muhammad Abduh hampir mengabdikan
hidupnya sebagai sufi dan tidak memperdulikan kehidupan dunia.
Dalam keadaan
seperti tu, beliau bertemu dengan Jamaludin Al Afghany[9]. Jamaludin
al-Afghanilah yang akhirnya dapat menyadarkan Muhammad Abduh kembali. Sistem
pengajarannya yang cenderung menerapkan metode diskusi membuat Muhammad Abduh
nyaman belajar dengannya. Dari sinilah Muhammad Abduh belajar tentang ilmu
bidang filsafat, logika, ilmu kalam, dan sosial politik.
Pada tahun 1877 beliau berhasil lulus dari Al-Azhar dengan mendapat gelar
kesarjanaan 'alim, suatu prestasi yang memberikan hak untuk mengajar di
Universitas ini. Muhammad Abduh mengajar
di tiga lembaga pendidikan, yaitu Al-Azhar dalam mata kuliah ilmu kalam dan
logika, Universitas Dar-al-Ulum serta perguruan Bahasa Khedevi dalam mata kuliah
ilmu kalam, sejarah ilmu politik dan kesusasteraan Arab.[10]
Dalam mengajar, beliau
menggunakan metode diskusi dan penalaran. Beliau juga menekankan kepada anak
didiknya untuk mengetahui kondisi masyarakat Mesir. Karena metode pengajarannya
ini, beliau dicurigai mendukung barat oleh pihak Universitas Dar-al-Ulum
sehingga beliau tidak lagi mengajar di sana.
Pada tahun 1880, oleh Perdana
Menteri Riyadh Pasha, beliau diangkat sebagai salah seorang redaktur surat
kabar pemerintah, Al-Waqai’ al-Mishriyyah[11],
tidak lama kemudian beliau dipercaya untuk menjadi Editor In Chief (ketua
editor).[12] Pada tahun 1882 beliau terlibat dalam
pemberontakan Urabi[13]
karena berbagai tulisannya dalam mengkritik pemerintah. Peristiwa ini
membuatnya diasingkan ke Suriah selama 3 tahun. Namun, hal ini tidak membuat
langkahnya terhenti, melainkan sebaliknya. Beliau semakin leluasa untuk menyebarkan
pemikirannya yang sebelumnya hanya dalam lingkup Mesir, sekarang menjadi
lingkup dunia.
Setelah itu, beliau bertemu
dengan gurunya, Jamaluddin Al-Afghany di Paris. Beliau pun bergabung dengan
jama’ah Al-Urwath Al-Wutsqa serta
bersama gurunya, beliau menerbitkan majalah dengan nama jama’ahnya
tersebut. Majalah ini adalah majalah berbahasa Arab pertama yang beredar di
Eropa. Sayangnya majalah ini dilarang untuk terbit kembali setelah 18 edisi. Selanjutnya
beliau kembali lagi ke Beirut (Suriah). Disinilah buku Risalah Tauhid berhasil beliau
selesaikan.
Pada Tahun 1888 beliau kembali
ke Mesir setelah diampuni oleh Taufiq dan diangkat sebagai Kadi[14]
kemudian menjadi penasehat hukum pada Mahkamah Agung tahun 1890. Selanjutnya,
pada tahun 1895 menjadi anggota Dewan Pimpinan al-Azhar mewakili pemerintah.[15]
Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil awal 1323 H/ 11 Juli
1905, jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di Kairo (Pemakaman Negara).[16]
Pemikiran Muhammad Abduh
Teologi
Rasionalisme
Teologi Rasionalisme yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh
ini berisi tentang bagaimana ia memandang tentang Tuhan, agama, kitab suci,
Nabi-Nabinya serta penciptaan seluruh makhluk Tuhan. Muhammad Abduh membagi
alam ini menjadi dua, yakni alam wujud dan alam abstrak. Alam wujud adalah alam
dimana kita tinggal sekarang ini dan alam abstrak adalah alam akhirat yang akan
kita tempati setelah meninggal nanti. Teologi menurut pandangan Muhammad Abduh
dapat digambarkan sebagai Tuhan berada di puncak alam wujud dan manusia ada di
dasarnya. Manusia yang berada di dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan
Tuhan menurunkan wahyu karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan
kemahakuasaan-Nya. Manusia yang dimaksud oleh Muhammad Abduh di sini adalah
kamu Khawas[17]
yakni orang-orang yang terpilih dari golongan awam. Hal ini dikarenakan
kemampuan akal yang dimiliki orang Khawas yang mampu mencapai Tuhan
serta alam ghaib yang berada pada puncak tertinggi dari alam wujud.
Untuk mencapai pengetahuan
tertinggi ini bisa melalui 2 cara, akal dan wahyu. Akal bagi Muhammad Abduh
adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan hidupnya karena
ialah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena itu, beliau selalu
berbicara tentang pentingnya akal dan pentingnya manusia mengembangkan akalnya
untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Begitu pun dalam masalah
teologi. Ia tidak pernah meninggalkan akal sebagai dasar dari teologi.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah
agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan didasarkan pada
akal. Beliau sangat menekankan pentingnya memahami ayat dengan menggunakan
akal. Menurutnya, pemikiran rasional adalah jalan untuk mendapatkan keimanan
yang sejati. Keimanan bukan didasarkan pada pendapat semata, namun harus
berdasar pada pemahaman. Akal yang dapat membawa manusia memahami apa yang
sebenarnya disampaikan oleh Tuhan melalui agama dan wahyu. Agama memang membawa
sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, namun, agama
tidak mungkin membawa sesuatu yang mustahil dipahami oleh akal manusia. Jika
memang agama mambawa sesuatu yang secara lahiriah terlihat bertentangan dengan
nalar, akal harus meyakini bahwa yang dimaksud bukan arti harfiah melainkan ada
maksud lain yang dibawa.
Selain itu, beliau juga sangat
menolak sikap taklid. Terlebih jika sikap taklid itu ditujukan pada apa yang
dikatakan oleh sang ulama. Beliau juga mengatakan bahwa Al-Qur’an telah
mengajarkan manusia untuk terus menggunakan akal untuk mencari kebenaran yang
hakiki, bukan hanya taklid pada wahyu semata. Beliau sangat menyesalkan
timbulnya sikap taklid yang telah menjalar di setiap aspek kehidupan umat pada
masa itu.
Kekuatan akal yang disampaikan
oleh Muhammad Abduh tepatnya sangat berperan dalam permasalahan teologi
berikut.
1.
Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya
2.
Mengetahui adanya hidup di akhirat
3.
Mengetahui bahwa kehidupan jiwa di akhirat tergantung pada kedekatannya
dengan Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya tergantung pada
jauhnya ia dengan Tuhan dan perbuatan jahat.
4.
Mengetahui penting dan wajibnya manusia mengenal Tuhan
5.
Mengetahui bahwa manusia memiliki kewajiban untuk berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat demi kebahagiaannya di kehidupan akhirat nanti.
6.
Membuat hukum dan peraturan untuk kewajiban-kewajiban di atas.
Rincian di atas dapat
diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.
M.T.S. = Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya
M.H.A. = Mengetahui adanya hidup di akhirat
M.B.J. = Mengetahui Perbuatan Baik dan Jahat
M.W.T.T = Mengetahui penting dan wajibnya manusia
mengenal Tuhan
M.W.B.J. = Mengetahui kewajiban berbuat baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
M.H = Membuat hukum dan peraturan untuk
kewajiban-kewajiban diatas.
(Nasution, 1987: 53-54)
Pemikiran
Teologi yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh ini memang berbeda dari
teolog-teolog lain pada masanya. Muhammad Abduh lebih menekankan rasionalitas
dari setiap pendapat-pendapatnya. Karena itu, beliau dianggap keluar dari apa
yang digariskan oleh ajaran agama Islam. Gambar di atas menunjukkan bahwa Wahyu
di dalam teologi menurut Muhammad Abduh tidak memiliki peranan yang begitu
penting. Walaupun begitu, beliau tidak semata-mata meninggalkan wahyu dan langsung
menolaknya.
Menurut
Muhammad Abduh, wahyu juga memiliki peranan penting di samping akal. Setidaknya
ada 2 fungsi pokok yang dimiliki oleh wahyu dalam permasalahan teologi. Fungsi
pokok pertama berkaitan dengan keyakinan manusia bahwa jiwa manusia akan selalu
hidup setelah mati. Keyakinan ini bukan berasal dari khayalan atau tebakan
manusia semata, melainkan berasal dari wahyu yang diturunkan oleh Tuhan melalui
nabi-nabi yang diutus-Nya.
Fungsi
kedua berkaitan dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia
memerlukan sosialisasi dan bekerjasama dengan manusia lainnya dan untuk
mewujudkan hal itu, manusia harus mampu menjaga kerukunan dan kedamaian dalam
kelompok mereka. Sayangnya, keberagaman manusia sering menimbulkan konflik.
Untuk itu, harus ada aturan yang mengatur seluruh manusia yang berisi keadilan
yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Hal ini tidak mungkin dilakukan
oleh manusia sendiri karena manusia akan cenderung mencari kepuasan dan
keadilan untuk diri mereka masing-masing. Karena itu, Tuhan mengirim nabi-nabi
ke bumi yakni untuk mengatur masyarakat. Fungsi lain dari wahyu menurut
Muhammad Abduh adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolut
yang terdapat dalam wahyu.
Dari
sini, dapat kita lihat bahwa Muhammad Abduh adalah tokoh pemikir yang tidak
pernah taklid bahkan pada pemikirannya sendiri. Beliau tidak semata-mata
mendewakan akal dan kemudian meniadakan wahyu seperti apa yang dituduhkan
orang-orang sekitarnya. Beliau tetap menjaga nilai-nilai ajaran agama Islam
yang dianutnya dan mencoba menyandingkannya dengan pemikiran rasionalisne yang
menurutnya merupakan metode paling efektif dalam mencari kebenaran.
Pengaruh Teologi
Rasionalisme dalam Rancangan Pendidikan yang diusulkan Oleh Muhammad Abduh
Dibesarkan dalam keluarga yang
sangat memperhatikan pendidikan, Muhammad Abduh berkembang menjadi pemuda yang
cinta pada ilmu pengetahuan. Nampaknya karena inilah beliau sangat
memperhatikan masalah pendidikan. Namun sejak kecil, Muhammad Abduh memang telah
menunjukkan sikap kurang senang dengan pendidikan tradisional yang lebih
mengutamakan hafalan dari pada mengulas sesuatu ilmu itu secara jelas dan
rasional.[18] Bahkan,
beliau pernah menyatakan dalam tulisannya bahwa hafalan justru akan merusak
akal dan nalarnya.[19]
Karena inilah beliau mempunyai gagasan untuk mengubah sistem yang selama ini
telah berjalan. Beliau ingin lebih menekankan metode pengajaran dengan diskusi
dan penalaran. Menurutnya, diskusi lebih bisa mengembangkan akal dan
pengetahuan peserta didik karena bisa mengungkapkan pendapatnya. Karena inilah,
pemikiran yang dibawanya sering dijuluki dengan new mu’tazilah.
Pemikirannya
yang paling terkenal adalah adanya penyatuan antara ilmu agama dan ilmu umum
dalam pendidikan. Menurutnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu
pengetahuan.[20] Beliau
menentang pemisahan antara sekolah yang didirikan oleh Islam dengan sekolah
yang didirikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan atau pihak asing. Sejak
pertama didirikannya sekolah formal oleh pemerintahan Muhammad Ali Pasha lewat
kementrian pendidikan pertamanya, sekolah di Mesir terbagi menjadi dua kubu.
Kubu pertama, yakni madrasah yang hanya akan mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Lulusan dari sini biasanya nanti akan menjadi ulama’. Dan kubu yang kedua
adalah sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan pihak Barat. Berkebalikan
dengan kubu pertama, di sekolah ini, hanya akan diajarkan mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat mengganggu Muhammad Abduh selama ini.
Bagi beliau, pendidikan agama dan umum sama-sama penting. Tidak boleh ada yang
ditinggalkan. Semua umat Islam harus menguasai dua-duanya. Karena tanpa ilmu
pengetahuan, umat islam akan ketinggalan jauh dari peradaban dunia yang sudah
memasuki era modern. Namun, pelajaran agama juga tidak boleh ditinggalkan.
Karena bagaimanapun juga, agamalah yang akan menuntun manusia dalam bersikap
dan melakukan sesuatu. Tanpa agama, ilmu pengetahuan sehebat apapun akan sesat
karena tidak ada arah tujuan penggunaannya untuk apa.
Selain
itu, Beliau memberikan perhatian lebih pada pendidikan wanita. Sistem
pendidikan Mesir yang masih tradisional saat itu telah membatasi gerak wanita
dalam berinterasi sosial, termasuk dalam mendapatkan pendidikan. Berpegang pada
QS. Al-Ahzab ayat 35 serta QS. Al-Baqarah ayat 228, Muhammad Abduh berpendapat
bahwa hak wanita dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan
adalah sama.[21] Wanita
juga berhak untuk menambah pengetahuan sebanyak apapun yang mereka inginkan.[22]
Dari uraian
di atas, terlihat bahwa Muhammad Abduh tidak setuju dengan berbagai sistem yang
dianut oleh masyarakat Mesir pada masa itu yang masih sangat tradisional. Terutama
dengan sistem hafalan yang tidak akan mengembangkan pemahaman tentang apa yang
dipelajarinya. Beliau menginginkan adanya pembaharuan, terutama dalam bidang
pendidikan ke arah modern karena umat Islam saat ini sudah hidup pada masa
modern. Sehingga masyarakat Mesir tidak akan tertinggal dengan perubahan serta
pembaharuan yang telah terjadi di berbagai belahan bumi di luar Mesir.
Rancangan Sistem Pendidikan baru Muhammad Abduh
Muhammad Abduh membagi pendidikan menjadi tiga
tingkatan, yaitu tingkat dasar (mubtadi’in), tingkat menengah (taqabat
Al Wustha), dan tingkat tinggi (taqabat Al Ulya). Pembagian
pendidikan ini berdasarkan tujuan dan tempat bekerja para pelajar. Pengklasifikasian
ini juga didasarkan pada tingkat ketinggian akal seseorang. Hal ini dikarenakan
dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh yang sudah saya disampaikan sebelumnya,
manusia tidak lagi digolongkan sesu ai
dengan ketakwaannya, melainkan tingkat akal mereka.
Untuk tingkat dasar, pendidikan
ditujukan kepada orang-orang yang nantinya akan mengabdikan dirinya untuk
menjadi tukang, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang setara dengan mereka.[23]
Kurikulum yang akan diterapkan di sini pun adalah yang paling ringan. Tingkat
pertama bertujuan untuk memerangi buta huruf, maka di sini lebih ditekankan
ilmu membaca, menulis, dan berhitung. Namun, tidak hanya itu. Di sini juga diajarkan
mata pelajaran lain, yakni Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah.
Tingkat
Menengah ditujukan bagi orang-orang yang nantinya akan menjadi pegawai
pemerintah baik sipil atau militer. Bermula pada keprihatinannya terhadap
pegawai-pegawai pemerintah pada masa itu yang hanya memikirkan dirinya tanpa
peduli dengan rakyatnya, Muhammad Abduh memberikan pendidikan yang bisa membuat
mereka menjadi orang-orang yang bertanggung jawawab nantinya. Dalam tingkat
ini, Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah yang juga telah diajarkan dalam
tingkat dasar lebih diperluas lagi bahasannya. Selain itu, di sini juga dbeliaujarkan
Ilmu logika (fann al-mantiq), dasar-dasar penalaran (usul an-nazari) dan ilmu
debat atau diskusi (adab al-jadal).[24]
Pendidikan tinggi ditujukan
untuk mereka yang akan menjadi guru dan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Kurikulum yang diajarkan di sini adalah al-Qur’an al-Karim, Hadits, Bahasa
Arab, Ushul Fiqh, Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasar-dasar
Diskusi, dan Ilmu Kalam.[25]
Bagi Muhammad Abduh peran guru sangatlah penting dalam mempengaruhi pendidikan
yang akan membentuk bangsa. Oleh karena itu, beliau menempatkan guru dalam
tingkatan yang tinggi setara dengan para pemimpin dan penguasa negara. Beliau
memilih Tafsir Al-Qur’an untuk diajarkan di sini karena menurutnya Al-Qur’an
menyimpan rahasia kesuksesan umat terdahulu.[26]
Untuk itu, para peserta didik haruslah mempelajari hal ini.
Selain kurikulum, Muhammad
Abduh juga mengungkapkan adanya pihak-pihak yang sangat menentukan keberhasilan
pendidikan seseorang. Yang pertama, kepala sekolah. Menurutnya, kepala sekolah
haruslah orang yang memiliki kapasitas pendidikan serta kepemimpinan yang
memadai dan berkualitas. Yang kedua adalah guru. Seperti yang telah disebutkan,
baginya guru adalah komponen terpenting adalam pembentukan siswa saat menjalani
pendidikan. Bagaimana jenis siswa yang dihasilkan tergantung dengan bagaimana guru
tersebut mengajar. Oleh karena itu, guru haruslah orang-orang yang memilki
kapasitas untuk mengajar. Muhammad Abduh juga tidak melupakan unsur lain
seperti orang tua murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa bekerjasama dengan
mereka, suatu pendidikan tidak akan berhasil.[27]
Yang paling menjadi fokus
Muhammad Abduh pada waktu itu adalah bagaimana menghapuskan adanya dualisme
pendidikan[28] yang
telah ada. Sehingga, tidak ada lagi pemisahan antara pemerintah dan ilmu pengetahuannya
dan Islam dengan syari’atnya. Semuanya bisa berjalan secara seragam dan
harmonis. Pemerintah pun paham tentang islam dan bisa menerapkannya dalam cara
mereka memerintah dan Ulama’ pun melek pengetahuan dan tidak tertinggal dari
peradaban dunia.
Dengan membawa pemikirannya
yang berisi tentang sistem pendidikan baru untuk Mesir yang telah dibuatnya,
Muhammad Abduh berusaha mendobrak tembok sistem pendidikan tradisional Mesir
yang telah dibangun sejak Muhammad Ali berkuasa. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, beliau ingin agar ilmu-ilmu umum juga diajarkan dalam madrasah dan
ilmu agama juga diajarkan dalam sekolah pemerintah. Namun, ternyata kenyataan
tidak berpihak pada Muhammad Abduh. Pemikiran yang beliau bawa ditolak oleh
para ulama’ karena dikhawatirkan cenderung kepada Barat. Pemikirannya yang
memang cenderung ke arah pembaharuan dan modernisasi dianggap bergerak menuju
pendidikan sekuler, sehingga tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka tidak
ingin ilmu-ilmu umum seperti logika masuk kepada siswa-siswanya dan merusak
akhlaknya.
Beliau juga mendapatkan
tentangan dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu, karena kurikulum agama
yang ingin beliau ajarkan di sekolah pemerintah membuat mereka tidak lagi
leluasa dalam berbuat maksiat. Misalnya saja tentang wakaf. Pemerintah tidak
setuju dengan adanya konsep untuk mendirikan institusi wakaf yang diusung oleh
Muhammad Abduh.[29]
Alasannya tentunya hanya ada satu. Jika institusi wakaf ini didirikan maka uang
yang akan masuk kantong mereka berkurang.
Sikap penolakan ini
sesungguhnya merupakan hasil dari statisnya sikap masyarakat Mesir pada masa
itu yang masih terjerat dalam pola pikir tradisional. Namun, hal ini bisa juga
merupakan hasil dari traumatis masyarakat mengingat banyaknya negara sekitarnya
yang akhirnya dipimpin secara sekuler setelah dimasuki pemikiran Barat.
Dalam keadaan yang sangat
mengecewakan tersebut, akhirnya Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal dunia.
Alhasil, pemikiran tentang sistem pendidikan yang dibawanya belum dan tidak
pernah sempat diterapkan dalam pendidikan formal Mesir. Namun, lebih dari itu,
ternyata Muhammad Abduh telah memberikan pengajaran bagi siswa-siswa yang
sangat tepat. Penerusnya, seperti Rasyid Ridla[30]
dan Hasan Al-Banna[31]
adalah potret dari produk sistem pendidikan yang dibuat oleh Muhammad Abduh.[32]
Mereka yang akhirnya menjadi tokoh besar di Mesir dan dunia yang sesungguhnya
menjadi bukti bagaimana hasil dari sistem pendidikan Muhammad Abduh.
Relevansi Pemikiran Muhammad Abduh dengan Masa Kini
Setelah
merenungkan pemikiran Muhammad Abduh menenai teologi dan rasionalisme, bahwa
teologi tidak boleh terpisah dari rasionalisme, saya setuju dengan hal
tersebut. Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir. Menurut saya, akal itu
bukan akan menghancurkan wahyu, melainkan ia akan menguatkan wahyu asalkan kita
menggunakannya dengan benar. Sejalan dengan hal tersebut, saya juga sangat
setuju dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai pendidikan. Menurut saya,
pendidikan agama maupun pendidikan umum sama-sama penting untuk dipelajari.
Keduanya tidak bisa dipisahkan. Orang-orang yang sangat mahir dalam bidang
agama tidak boleh lupa bahwa mereka hidup di dunia yang sangat membutuhkan
ilmu-ilmu tentang keduniaan. Jangan sampai orang-orang seperti ini buta akan
ilmu pengetahuan dan akhirnya terasing dari peradaban dunia yang semakin maju
dan modern. Begitupun sebaliknya, mereka yang sangat mengagungkan ilmu
pengetahuan juga tidak boleh lupa dengan agama yang memang membawa nilai-nilai
kebenaran sehingga ilmu pengetahuan yang mereka pelajari tidak akan keluar dari
jalur kebenaran tersebut dan tidak mengganggu serta merugikan manusia lainnya.
Selain itu, sistem pendidikan
yang telah dicetuskan oleh Muhammad Abduh menurut saya juga sangat menarik
untuk dikomparasikan dengan sistem pendidikan Indonesia. Hal ini dikarenakan
beberapa kasus yang terjadi di Mesir seperti pemisahan pendidikan agama dan
umum masih terjadi juga di Indonesia. Misalnya, adanya lembaga pendidikan Islam
yang tidak ingin memasukkan ilmu umum dalam kurikulum mereka. Sebenarnya, untuk
masalah seperti ini memang tergantung pada prinsip serta tujuan dari lembaga
tersebut. Kita tidak memiliki hak untuk melarang apa yang memang menjadi tujuan
mereka. Misalnya, ada lembaga Islam yang tujuannya memang untuk mencetak
penghafal kitab suci Al-Qur,an atau lembaga pendidikan agama non-Islam mungkin
yang memang memiliki tujuan untuk mencetak pemimpin-pemimpin agama, kita tentu saja tidak memiliki hak untuk
memaksa lembaga tersebut memasukkan ilmu-ilmu dunia. Menurut saya, yang harus
kita ubah saat ini adalah paradigma dalam masyarakat Indonesia sendiri. Ilmu,
baik agama maupun umum tidak harus kita dapatkan dari satu lembaga formal saja.
Ilmu tersebut bisa kita dapatkan dimana saja jika kita mau mencarinya sendiri.
Untuk itu, paradigma masyarakat mengenai pentingnya akal dan rasionalisme tanpa meninggalkan agama, dan
begitupun sebaliknya, pentingnya agama tanpa meninggalkan akal dan rasionalisme
harus ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga masyarakat akan lebih memiliki
inisiatif untuk meningkatkan ilmu agama serta ilmu umum sendiri tanpa menunggu
adanya lembaga yang akan mengakomodasi semuanya sekaligus
Terakhir, saya ingin
mengkritisi salah satu bagian dari konsep sistem pendidikan Muhammad Abduh,
yakni bagian pengkastaan. Menurut saya, sistem kasta dalam pendidikan seperti
yang ingin diterapkan oleh Muhammad Abduh sudah tidak relevan lagi dengan masa kini.
Walaupun memang kasta yang diterapkan disesuaikan dengan tujuan dari
masing-masing individu, namun hal ini akan membatasi kemampuan seseorang.
Sekarang sudah bukan saatnya manusia dibatasi dengan satu kemampuan saja.
Tantangan hidup yang semakin berat mengharuskan setiap manusia yang ada di bumi
ini mengetahui berbagai lini kehidupan sehingga mampu bersanding dan bahkan
bersaing dengan manusia lainnya. Pembatasan dalam pendidikan ini akan membuat
mereka hanya pasrah dengan keadaan mereka tanpa mau mengembangkan diri dan
meraih sesuatu yang lebih dari yang mereka miliki saat ini padahal seharunya
mereka bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan
pengkastaan dalam bidang pendidikan seperti yang diterapkan oleh Muhammad
Abduh.
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai “Teologi
Rasionalisme serta Pengaruhnya terhadap Modernisasi Pendidikan Mesir yang
dibawa oleh Muhammad Abduh” dapat kita simpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah
seseorang yang memang tepat jika dijuluki sebagai tokoh pembaharu Mesir. Beliau
berani mendobrak sistem tradisional yang pada waktu itu sudah kuat mengakar
dalam masyarakat Mesir. Lebih dari itu, beliau berhasil memberikan warna baru
dalam dunia pemikiran dan pendidikan di Mesir yang pada masa itu masih sangat
tradisional dengan menerapkan metode diskusi dalam proses pembelajarannya dan
memperkenalkan pentingnya akal serta pemahaman dari setiap apa yang dipelajari.
Beliau memang tidak pernah menelurkan buku tentang pemikiran rasionalisme,
namun, beliau adalah rasionalis sejati.
Walaupun pemikirannya tidak sempat
mendapatkan tempat di Mesir, dan tidak dapat diterapkan secara formal, beliau
tetap memberikan sumbangan pemikiran yang begitu berharga bagi pembaharuan
pendidikan Mesir pada khususnya dan dunia pada umumnya. Beliau tetap berhasil
mencetak ulama’-ulama’ besar islam lewat pemikirannya tersebut. Melalui
murid-muridnya inilah kita bisa melihat bagaimana Muhammad Abduh dengan sistem
pendidikannya yang dianggap gagal dan ditolak mentah-mentah untuk diterapkan,
ternyata dapat mencetak tokoh-tokoh besar muslim dunia. Dengan kata lain, usaha
yang dilakukan oleh Muhammad Abduh selama ini tidaklah sepenuhnya sia-sia.
Walaupun beliau memang tidak sepenuhnya bisa mewujudkan tujuannya, tapi jika
kita melihat dari ‘produk’ yang telah dihasilkan dari proses pendidikan Muhammad
Abduh, sebenarnya pemikiran Muhammad Abduh menjadi salah satu dasar atau
pondasi dari pemikiran ulama’ besar Islam yang sangat berpengaruh pada kemajuan
umat Islam setelahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fadhullah Jamil, Madya. 2000. Islam di Asia Barat Modern. Selangor
Darul Ehsan: thinker’s library SDN BHD.
K. Hitti,
Philip. 2002. History of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan.
Nasution, Harun.
1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press
Sahrah, H. Antologi Tesis: Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi. http://www.google.co.id/search?q=H.+Sahrah%2C+antologi+tesis%3A+Pemikiran+Pendidikan+Muhammad+Abduh+Sebagai+Strategi+Modernisasi%2C+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
(29 Mei 2011) 20.00 WIB
Sedwick, Mark.
2010. Makers of The Muslim World: Muhammad Abduh. Oxford: OneWorld
Publications.
Yasmansyah. 2006. Muhammad Abduh dan Usaha pembaharuan Pendidikan Mesir.
Padang: IAIN Imam Bonjol.
[1] Muhammad Ali
Pasha memerintah Mesir pada tahun 1805 setelah berhasil merebut Mesir dari
Perancis dengan bantuan Inggris
[3] H. Sahrah, antologi tesis: Pemikiran
Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi, 3 http://www.google.co.id/search?q=H.+Sahrah%2C+antologi+tesis%3A+Pemikiran +Pendidikan+Muhammad+Abduh+Sebagai+Strategi+Modernisasi%2C+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
[4] Yasmansyah, Muhammad
Abduh dan Usaha pembaharuan Pendidikan Mesir (Padang: IAIN Imam
Bonjol,2006), 3
[5] Mesjid Ahmadi dianggap nomor dua setelah Universitas al-Azhardari segi
tempat belajar al-Quran dan menghafalnya. Disini beliau selama 2 tahun, selain
memperlancar hafalannya, beliau juga belajar bahasa Arab, Nahu, Sharaf dan
sebagainya. ibid
[8] Ibid, dikutip dari Muhammad Rasyid
Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manar
1931),I,h.20 selanjutnya disebut Tarikh I
[9] Sayyid Jamaluddin Al-Afghani
(1839-1897) adalah salah seorang tokoh politik dan pembaharu di Mesir. Beliau
berasal dari Afghanis dan pernah tinggal di India, Persia dan Mesir. Beliau belajar di Kota suci Najaf dan
Karbala dan ada yang menyebutnya sebagai
penganut mazhab Syi’ah. Beliau mencoba untuk mengadakan pembaharuan di negeri-negeri yang
umumnya bermazhab sunni, terutama dalam bidang politik. Beliau belajar filsafat
Arab kuno dan barat modern. Ahmad Fuad Al –Ahwani menyebutnya sebagai mata rantai filsafat
isyraqiyyah yang ada di Iran. Lihat, Ahmad Fuad Al-Ahwani, al-Falsafat al-Islamiyyat (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h.23, lihat juga al-Bert Hourani Arabic Thougt in
the liberal Age (London: Oxford
University, 1962), h.108, ibid.,
5
[10] Sahrah loc.
cit., 3
[11]Al-Waqai’ al-Misriyah telah dimulai penerbitannya
sejak masa Muhammad Ali Pasha berkuasa (1805-1849) dengan at-Tahtawi sebagai
ketuanya, Sahrah, loc.cit., 4
[12] Sahrah, loc.
cit., 4
[13]Pemberontakan
Urabi adalah suatu pemberontakan terhadap pemerintahan Taufiq yang pro-Barat
yang dipimpin oleh Ahmad Urabi Pasha. Mereka terdiri dari orang Mesir asli atau
fellahi. Terjadi pada tahun 1881
hingga 1882, mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan pemerintah. Namun,
karena pemerintah mendapat bantuan dari Inggris, akhirnya pada tahun 1882
pemberontak ini diusir dari Mesir, termasuk Muhammad Abduh. Lihat
[14] hakim
[15] Sahrah, loc.cit.,
5
[16] Yamansyah, loc.
cit., 8
[17] Muhammad Abduh telah membagi manusia menjadi
2 golongan, yakni orang khawas dan orang awam. Orang khawas
merupakan sebagian kecil orang yang terpilih di antara orang-orang awam. Mereka memiliki akal sempurna dan
pandangan yang tajam walaupun tidak menerima hidayah sebagai Nabi-Nabi.
[18] Madya
Fadhullah Jamil, Islam di Asia Barat Modern, (Selangor Darul Ehsan:
thinker’s library SDN BHD, 2000)
[19] Yamansyah, loc.
cit., 4 dikutip dari Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh
al-Ustaz al-Imam al Syaikh
Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manar 1931),I,h.20 selanjutnya disebut Tarikh I
[22] Pemikiran
ini menjadi inspirasi salah satu penerusnya , yakni Qasim Amin, orang pertama
yang menyerang poligami perceraian dan penggunaan jilbab, lihat Philip K.Hitti,
History of The Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 2002) diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)
[23]Sahrah, loc.
cit.,5
[29] Yamansyah, loc.
cit., 8
[30] Lahir di
Kalamon Utara dan pergi ke Mesir pada 1897, menyunting karya-karya Muhammad
Abduh, menulis biografinya, dan mempublikasikan tradisinya di majalah Al-Manar,
lihat
[31] Pendiri
Ikhwanul Muslimin (organisasi persatuan muslim terbesar), beliau menggabungkan
pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla sebagai salah satu referensi
pemikirannya, lihat film Who killed Hasan al-Bana, ep. 1
[32] Mark
sedwick, Makers of The Muslim World: Muhammad Abduh (Oxford: OneWorld
Publications: 2010), xii
1 komentar:
asalam..numpang silaturrahmi nggeh jeng ida..salam persaudaraan.
Posting Komentar