Oleh : Haniatur Rosyidah
Islam adalah agama yang menghargai setiap akal pikiran
manusia. Oleh karena itu, selain Al-Qur’an dan Sunnah, Islam masih masih
mempunyai ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
Secara etimologis, ijtihad berarti bersungguh-sungguh
atau serius. Yang dimaksudkan di sini adalah bersungguh-sungguh dengan segala
kemampuan untuk mencari dan menemukan sesuatu. Secara terminologis, ijtihad
adalah penggunaan ra’yu (akal pikiran) untuk menemukan hukum Islam
tertentu yang tidak atau belum dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Hadits.
Ijtihad dilakukan apabila dalam perkembangannya ada
masalah-masalah atau hukum Islam yang pemecahannya tidak dapat ditemukan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Biasanya dikarenakan masalah tersebut
belum timbul pada masa Rasulullah. Atau masalah tersebut sudah timbul pada masa
Rasulullah, tapi ada perbedaan pendapat dalam menginterprestasikan sebuah ayat
Al-Qur’an atau hadits yang masih bersifat universal atau umum. Hal ini sangatlah
wajar karena manusia memang memiliki akal pikiran yang berbeda-beda sehingga
antara satu dengan yang lain pasti mempunyai dalam menghadapi sesuatu. Namun, hal ini tidak lantas membuat manusia dapat
secara semena-mena membuat inovasi baru dalam Islam. Ijtihad terikat pada
beberapa hal sebagai berikut.
1. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan
penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah mahdhah telah diatur oleh
Al-Qur’an dan Hadits secara jelas dan terperinci.
2. Hasil ketetapan ijtihad sifatnya
kondisional dan situasional, mungkin berlaku pada seseorang tetapi tidak
berlaku bagi orang lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau
temat tertentu saja.
3. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Ketetapan ijtihad tidak melahirkan
keputusan yang bersifat absolut tapi sifatnya relatif.
5. Dalam proses berijtihad harus
mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat
dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas
ajaran Islam.
6. Ijtihad mencakup bidang mu’amalah
(ihwal[1]
ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal
syakhshiyyah (ihwal kekeluargaan), dan da’wah (mission),
kedokteran, sains dan teknologi dan sebagainya.
(Mubarak, 2010:106)
Dalam ijtihad, akan muncul sumber hukum
lain yang merupakan penerapan dari ijtihad, yaitu: ijma’ (konsensus
ulama), qiyas (analogi berdasarkan sebab atau illat mursalah), urf
(adat kebiasaan setempat), maslahah mursalah (kepentingan umum), dan istihsan
(Mubarak, 2010:104).
Ijtihad memiliki peranan penting dalam
Islam karena dengan ijtihad hukum-hukum Islam menjadi lebih fleksibel dan tidak
kaku. Ijtihad pula yang dapat merasionalkan kembali beberapa hukum islam yang
sudah ‘kadaluarsa’ jika diterapkan dalam zaman modern ini yang kondisi serta
situasinya sudah berbeda dengan zaman Rasulullah. Selain itu, ijtihad juga
melatih kaum muslimin untuk berpikir kritis serta menggunakan akal pikiran yang
sudah diberikan oleh Allah SWT. untuk meningkatkan kualitas ibadah. Persatuan
dan kesatuan dalam perbedaan juga dapat terbina di sini. Hal ini dikarenakan
manusia akan lebih menghargai serta bersikap toleransi terhadap berbagai
perbedaan pendapat yang ada dalam tubuh Islam.
Sebuah Hadits riwayat Amr bin Ash,
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan ijtihad, kemudian ia
benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan
perkara dengan ijtihad, kemudian ia keliru, maka ia mendapat satu pahala.”
(HR. Bukhari, no: 6805. Muslim, no 3240)
Hadits
tersebut menegaskan hukum ijtihad dalam Islam. Namun, ada yang perlu diingat
bahwa tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Ijtihad dilakukan oleh para
imam, kepala pemerintahan, hakim dan panglima perang untuk menemukan solusi
dari masalah yang mereka hadapi dalam bidang masing-masing.
Daftar Pustaka
Mubarak, Zakky. 2010. Menjadi Cendekiawan
Muslim. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah
0 komentar:
Posting Komentar