Pages

Senin, 05 Desember 2011

Muslimah Under Cover


Oleh: Haniatur Rosyidah
Wanita
Bukan dari tulang ubun ia dicipta
Karena berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Bukan juga dari tulang kaki
Karena nista membuatnya diinjak dan diperbudak
Tapi dari tulang rusuk bagian kiri
dekat dihati untuk disayangi
Dekat ditangan untuk dilindungi[1]
Begitu mulianya makhluk yang bernama wanita ini. Sayangnya kata wanita sering diidentikkan dengan kelemahan, manja, dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri. “Apalagi muslimah. Nggak boleh keluar rumah, nggak boleh bekerja, nggak boleh ini, nggak boleh itu, pokoknya nggak boleh semua, deh. Yang boleh cuma ngelayanin suami”, banyak orang yang berpendapat seperti ini.
Seandainya orang-orang yang mengatakan hal itu pernah mendengar kisah Ummu Sulaim yang sedang hamil senantiasa memegang pisau dalam perang hunain untuk melindungi dirinya dan anaknya dengan bersiap-siap merobek perut setiap musuh yang menghampirinya. Atau kisah Ummu ‘Imarah Al-Anshariyah dalam perang uhud. Maka tidak akan ada lagi yang mengatakan bahwa wanita itu lemah dan tidak berdaya. Karena dibalik kelembutannya, terdapat kekuatan yang melebihi kekuatan hempasan ombak dilautan yang tidak dapat menghancurkan karang. Dibalik keteduhannya, terdapat ketegaran yang kuatnya bagai karang yang tak pernah lapuk dihempas gelombang. Bahkan, sejak semula penciptaannya pun Allah sudah mengistimewakannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, sosok ini seakan kehilangan jati dirinya. Saat ini, wanita seakan hanyalah nama jenis kelamin. Tidak ada lagi keistimewaan serta kekhususan yang tersembunyi didalamnya. Padahal selama ini Islam selalu menjaga dan melindungi fitrah wanita sebagai wanita itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari peran oknum-oknum tertentu untuk menyuarakan adanya emansipasi wanita.
Emansipasi wanita tentu saja tidak salah. Islam pun tidak pernah melarang hal ini. Seperti cerita di atas, Islam tidak pernah melarang wanita untuk keluar rumah. Sejak jaman Rasulullah pun, Wanita dan laki-laki dianggap sama hak serta kewajibannya.
Hanya saja jika sampai ada beberapa tokoh serta golongan yang menginginkan wanita disamakan dengan kaum laki-laki dalam segala hal, inilah yang perlu dipertanyakan. Pada hakikatnya, ada wilayah-wilayah yang dimiliki oleh perempuan yang tidak bisa dimasuki oleh laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Ada banyak wilayah-wilayah yang dimiliki oleh laki-laki yang tidak bisadimasuki oleh perempuan. Karena itu, Allah menciptakan dua, laki-laki dan perempuan. Dan tidak mungkin jika keduanya sama dalam semua hal.
Berbagai pertanyaan maupun pernyataan ‘menyesatkan’ muncul. “Kenapa wanita harus memakai jilbab sedangkan laki-laki boleh terbuka? Kenapa wanita dilarang ini itu, sedangkan laki-laki boleh melakukan apa saja?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang muncul bersamaan dengan bisikan syetan akhirnya membuat banyak orang tidak sanggup membuka mata serta hetinya untuk menerima kebenaran. Bahwa semua syari’at Islam yang dikhususkan untuk muslimah dimaksudkan untuk kebaikan muslimah itu pada khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya.
Pernyataan-pernyataan yang biasanya bermula dari rasa ingi terbebasnya beberapa muslimah dari berbagai syari’at Islam akhirnya mencetuskan beberapa paradigma bahwa Islam itu tidak adil pada muslimah atau hak muslimah sangat sedikit dibanding laki-laki dan tidak setara dengan kewajibannya. Padahal, jika kita kembali pada ayat Al-Qur’an maupun Hadits tentang wanita maka akan terlihat sebenarnya Islam adalah agama yang sangat menghormati hak-hak serta martabat muslimah.  
Misalnya saja, perintah berhijab dan menutupi aurat dalam suran Al-Ahzab: 59 ini.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمً
Artinya:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Sebenarnya, menutupi aurat bukan hanya diwajibkan bagi muslimah saja, tapi juga untuk muslimin. Hanya saja bagian tubuh yang ditutupi berbeda. Jika muslimah diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan, laki-laki hanya diwajibkan untuk menutupi bagian pusar hingga lutut. Inilah keistimewaan muslimah. Wanita dianugerahi tubuh yang sangat indah oleh Allah SWT. Hingga ada yang mengumpamakan tubuh wanita seperti gitar spanyol. Keindahan tubuh wanita ini bisa memikat laki-laki manapun dan meningkatkan nafsu birahi serta syahwatnya. Jika yang kebetulan melihat adalah orang yang tidak kuat imannya atau bahkan mungkin seorang penjahat kelas kakap maka niat-niat untuk melakukan kejahatan terhadap si wanita itu sendiri pasti akan muncul. Apalagi kalau kesempatan ada, misalnya ditempat sepi, gelap, dan sendirian maka yang terjadi terjadilah.
Inilah yang ditakutkan akan terjadi. Wanita dengan kelembutan tutur serta budinya, dengan keramahannya, sopan santunnya, kecantikan wajahnya, serta keelokan tubuhnya, dapat dengan mudah memikat hati siapapun. Karena itu, Allah telah memberikan proteksi yang lebih istimewa untuk wanita yang istimewa, yakni hijab.
Selain itu, Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwa perempuan yang tidak berjilbab serta berpakaian tetapi ketat atau transparan akan mengalami berbagai penyakit kanker ganas di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas milanoma pada usia dini akan semakin bertambah dan menyebar sampai di kaki. Sebab utama penyakit kanker ganas ini adalah pakaian ketat yang dikenakan oleh putri-putri di terik matahari, dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun[2].  
Karena itu, hijab yang kita kenakan pun harus sesuai dengan syari’at, yakni yang benar-benar menutupi aurat kita. Tidak tipis, ketat dan tidak transparan.
Namun, hijab tubuh pun belum cukup. Untuk menyempurnakannya, harus dilengkapi dengan hijab hati dan hijab mata. Hijab hati dan mata untuk menghindari virus-virus yang dapat menodai cinta suci kita kepada Allah semata bagi yang belum terikat dalam bingkai suci pernikahan. Serta untuk menjaga jalinan suci pernikahan (bagi yang sudah menikah) agar tidak ada yang namanya wanita ‘idaman’ lain atau pria ‘idaman’ lain.
Ini termasuk kita untuk menjaga harga diri, kesucian, serta kehormatan kita sebagai wanita yang merupakan harta milik kita yang paling berharga.
Selain itu, wanita juga memiliki sebuah tugas besar yang oleh Allah hanya dipercayakan kepadanya. Yakni, mencetak generasi-generasi masa depan yang berkualitas. Dari perutnya lah tokoh-tokoh besar lahir. Dari asuhannya lah tauladan-tauladan tercipta. Dari balik dukungannya lah kebanggaan-kebanggaan umat manusia muncul. Inilah wanita.
Karena itu, sebagai muslimah kita harus memiliki kesabaran serta keteguhan hati yang tiada pernah mati untuk selalu menjadi orang yang berada dibalik keberhasilan keluarga kita. Menemani mereka saat sendirian, menjadi guru saat belajar, mendukung saat sedang lelah, menasehati saat mereka lupa, serta memberikan senyuman saat semua sedang menekuk mukanya, semua ini hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita mulia yang bernama ibu. Lagi-lagi Islam sangat menghargai fitrah muslimah sebagai wanita. Karena itu, Islam menganjurkan-bukan mengharuskan- wanita agar tetap dirumah untuk mengurus suami serta putra-putrinya dan mempersiapkan mereka untuk menjadi manusia-manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Dan tidak salah memang jika ada pepatah yang mengatakan, “ dibalik orang sukses terdapat sosok wanita yang hebat”.
 Untuk menghadapi modernisasi, dimana tingkat kebutuhan manusia semakin meningkat dan dibarengi dengan tingkat kemunculan masalah yang meningkat pula, muslimah dituntut untuk lebih cerdas, bertalenta, kreatif, serta inovatif. Hal ini dikarenakan di dalam rumah tangga, wanita adalah seorang manager. Dia yang mengatur pergerakan serta perputaran kehidupan dalam rumah tersebut. Karena itu, dia dituntut mempunyai semua keahlian yanga akan membantunya memenjadi garda terdepan dalam penyelesaian masalah rumah tangga. Kemampuan manajerial ini juga sangat dibutuhkan oleh muslimah-muslimah yang memutuskan terjun dalam dunia karier. Jangan sampai karena dia sibuk dengan pekerjaannya, ia menelantarkan keluarganya. Kecerdasan serta keterampilan untuk mengatur dan menyeimbangkan antara dunia kerja dengan rumah tangganya sangat diperlukan di sini. Sehingga tidak akan ada yang merasa dikorbankan.
Wanita seperti inilah yang dibutuhkan pada abad ini.
Wanita Shalihah, kalau dipandang menumbuhkan kebahagiaan , kalau disuruh dia patuh, kalau ditinggal pergi dia dapat menjaga diri[3].



[1] Disebut dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A. Fillah
[2] Al-I'jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Oleh :Muhammad Kamil Abd Al-Shomad
[3] Disebutkan dalam buku Jangan Menyesal Menjadi Wanita karya Dr. Yusuf Qardlawi

Johan, Awal dari Pembaharuan


“Sambut salam hangat saya…
Salam kemenangan,
Salam penuh berkah,
dan salam keselamatan..
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
Inilah salam khas yang selalu diucapkannya. Dialah Johan Rio Pamungkas. Mahasiswa program studi Korea Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya angkatan 2006. “Bang Jo” begitulah kami biasa memanggilnya.
Mungkin sosok Bang Jo tidak begitu dikenal dikalangan MaBa (Mahasiswa Baru) UI termasuk saya. Namun, jangan salah. Bukan berarti Bang Jo tidak eksis, tapi mungkin karena saat kami masuk UI, Bang Jo sudah tidak lagi menjadi pemimpin sebuah lembaga atau organisasi yang bisa membuatnya terlihat. Bahkan, setelah melihat sepak terjangnya di UI ini, wajar jika saya menyebutnya lahir dari rahim kepemimpinan.
Ada yang menarik ketika saya menanyakan kepada bang Jo,”Sebenarnya apa kepemimpinan itu?” Sebuah teori baru pun ia keluarkan. Baginya, pemimpin adalah 5 jari.
 Jempol, dialah motivator.
Telunjuk, dialah instruktor dan pemberi arah kerja.
Jari tengah, dialah penengah dan hakim jika terjadi perselisihan ataupun kesalahpahaman dalam organisasi.
Jari manis,dialah pelengkap.
Kelingking, dialah pelayan.
Itulah filosofi 5 jari yang ia gunakan untuk menggambarkan seorang pemimpin seharusnya. Ia tidak ingin meniru teori orang lain dan menciptakan teori baru berdasarkan pengalaman serta pengetahuannya. Sederhana memang. Namun, dari konsep sederhana tersebut, terlihat jelas bahwa orang ini adalah orang yang kreatif, visioner dan bertanggung jawab. Beberapa sifat dan karakter yang memang wajib dimiliki oleh pemimpin masa kini.
Kiprah kepemimpinannya dimulai saat ia masih menjadi mahasiswa baru. Saat itu, mungkin pria kelahiran Jakarta, 1 Februari 1989 ini terlihat biasa-biasa saja seperti maba lain. Apalagi berasal dari sebuah program studi yang baru berdiri. Siapa sangka dari dalam kepala dan seluruh raga serta jiwanya, akan banyak bermunculan ide-ide serta pemikiran yang dapat merubah hidup banyak orang. Kepala yang tadinya biasa-biasa saja itu secara tiba-tiba menjadi istimewa tatkala ia mulai melancarkan serangannya. Sebuah ide untuk mendirikan Himpunan mahasiswa Jurusan untuk jurusan tercintanya yang baru saja berdiri nampaknya akan merubah hidupnya. Karena hal itu, ia pun didaulat untuk menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Koreanologi FIB UI (2006-2007). Dari sini lah petualangan kepemimpinannya dimulai.
            Sebagai alumni ROHIS SMA 38, Bang Jo lebih terbiasa berada dalam organisasi yang bersifat homogen. Jabatannya sebagai ketua HMJ Korea adalah kali pertama ia menjadi seorang pemimpin dan langsung harus memimpin orang-orang yang lebih heterogen. Namun, nampaknya hal ini tidak lantas membuatnya gagal. Terbukti ketika untuk kedua kalinya dia dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin organisasi mereka. Jika bukan karena sosok Bang Jo yang memang disegani oleh orang-orang yang ada disekitarnya maka hal ini tidak akan terjadi.
            Perjalanannya tak berhenti di situ. Tahun 2008, ia dibai’at untuk menjadi wakil ketua BEM FIB UI. Dan, di tahun 2009 ia benar-benar menggemparkan seluruh wilayah UI ketika tiba-tiba muncul sebagai hakim Mahkamah Mahasiswa.
Banyak yang bertanya-tanya bagaimana seorang anak sastra bisa menerobos ke dalam inti Mahkamah Mahasiswa yang bisa dibilang wilayahnya anak hukum. Semua hasil yang dicapai Bang Jo tentu saja tidak didapatnya dengan mudah. Banyak harga yang harus dibayarkan olehnya untuk sampai di titik tersebut. Untuk mencalonkan diri sebagai hakim Mahkamah Mahasiswa, ia perlu memepelajari seluk beluk konstitusi yang bukan merupakan konsentrasinya. Namun, dia berhasil melewati itu semua. Dan akhirnya ia pun membuktikan pada dunia bahwa tidak hanya anak hukum yang mengerti tentang hukum.
Berbagai permasalahan yang tak pernah diduga sebelumnya ia temui di sepenjang perjalan kepemimpinannya yang akhirnya membuat dia terus belajar, belajar, dan belajar. Masalah besar pertama muncul ketika ia masih menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Koreanologi FIB UI. Masalah yang berawal dari perbedaan pendapat tentang inisiasi jurusan-perlu tidaknya di adakan inisiasi yang saat itu masih identik dengan perploncoan-akhirnya membuatnya dijauhi oleh teman-teman se-jurusannya. Namun, toh akhirnya ia berhasil menyelesaikan masalah tersebut dan tetap dipercaya untuk menjadi ketua.
Terlebih lagi, ketika menjabat sebagai wakil ketua BEM FIB, ia menghadapi masalah yang mungkin kita kira hanya terjadi dalam sinetron. Namun, ini kisah nyata. Masih dengan permasalahan yang sama, boleh tidaknya melakukan inisiasi jurusan ke luar UI, yang akhirnya berujung dengan dibekukannya beberapa HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) selama kurun waktu tertentu. Hal ini memicu kesalahpahaman antara HMJ dan BEM hingga tiba-tiba suatu hari ada seorang teman satu fakultasnya datang ke rumah dan menodongkan pistol ke arahnya. Sampai-sampai polisi dan direktur kemahasiswaan UI pun turun tangan untuk mengatasinya. Inilah resiko menjadi pemimpin yang ingin melakukan pembaharuan dan perbaikan sistem di lingkungannya yang biasanya memang tidak sesuai dengan adat maupun budaya yang sudah terbentuk. Namun, toh ia tidak mundur begitu saja. Ia lebih memilih untuk mengajak orang yang sudah mengancam hidupnya itu untuk duduk dan membicarakan masalah ini secara baik-baik. Inilah metode penyelesaian masalah dalam organisasi yang masih ia pegang teguh sebagai metode yang paling baik dan efektif. Dan saya sangat setuju akan hal itu. Buktinya sampai sekarang ia masih baik-baik saja.
            Begitu juga ketika orang yang dipimpinnya mendapat masalah karena kebijakan dan keputusan darinya, ia langsung turun tangan. Ia akan langsung mengatakan kepada orang yang bermaslah dengan anak buahnya itu utnuk langsung menghadapnya karena dialah yang bertanggungjawab atas hal itu. Mungkin ini sesuai dengan salah satu kutipan favoritnya, yaitu “Aku tidak akan pernah membiarkan anak buahku mati sesuka hati mereka atau mati begitu saja” (Inspirasi dari miniseri “Band of Brothers).
            Beberapa kesibukan selama di kampus yang lain, antara lain, menjadi staf  bidang sosial-politik Dakwah Kampus FIB UI (2006-2008), penanggung jawab bidang sosial-politik Dakwah Kampus FIB UI (2009), penanggung jawab bidang kaderisasi Dakwah Kampus FIB UI (2009), serta koordinator Dakwah Kampus FIB UI (2010). Nampaknya ia ingin menyeimbangkan kehidupan dunia serta akhiratnya. Selain itu, Bang Jo juga mempunyai beberapa prestasi, antara lain peraih beasiswa PT. Samsung Korea (2006), pemenang lomba Blog Inspiratif “Kata Maya” (2007), pemenang lomba “Tetap Bersemangat” Arif Dahsyat (2008), penulis di Media Massa Nasional maupun Internasional, penulis buku “Percakapan Bahasa Korea untuk Pemandu Wisata”. Hal ini membuktikan bahwa sibuk dalam organisasi bukan berarti tidak bisa berprestasi.
            Sabtu, 5 Februari lalu, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya. Ia sekarang sedang sibuk menjadi asisten peneliti pembuatan kebijakan kesehatan. Kesibukannya yang lain adalah pengajar bahasa Inggris Islamic Course Centre, trainer Pusat Latihan Kepemimpinan I’M Next Indonesia, serta KaBAR(Keluarga Besar Alumni ROHIS) 38. Agak kurang nyambung memang dengan statusnya sebagai Sarjana Sastra Korea. Inilah dia. Orang yang tidak eksklusif untuk satu hal. Namun, ketika ada peluang untuk berkontribusi, ia langsung mengambilnya.
Dialah Johan, yang dengan gaya kocak namun berwibawanya bisa dengan mudah mempengaruhi orang lain
Dialah Johan, orang yang ganteng (ini berdasarkan subjektif dia sendiri).
Dialah Johan, Pahlawan bagi orang-oarng yang pernah bekerjasama dengannya utnuk melakukan perubahan.
Dialah Johan, gentlemen yang tidak takut dengan siapapun kecuali Allah selama apa yang diperjuangkannya itu benar.
Dialah Johan, seseorang yang hebat yang memberikan banyak inspirasi untuk orang yang disekitarnya.
Dialah Johan, pria yang moody.
Dialah yang selalu percaya bahwa manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain, sesamanya dan bahkan makhluk hidup lain dan bermanfaat bagi seisi bumi (Inspirasi dari Qur’an dan Hadis Nabi)
Di manapun ia berada, disitu ada sebuah pembaharuan.

Haniatur Rosyidah
FIB 2010
Student Development Program
University of Indonesia
2011

Kepemimpinan itu Mengarahkan


Identitas Buku
Judul Buku                  : Kiat Memimpin dalam Abad ke-21
Pengarang                   : Prof. Dr. Veithzal Rivai, M. B. A
Penerbit                       : PT Raja Grafindo Persada
Tahun terbit                 : 2004
Jumlah halaman           : 356
Banyak orang yang berpendapat bahwa inti dari kepemimpinan adalah memerintah. Pemimpin dikatakan hebat jika ia berhasil membuat pengikutnya mengikuti semua perintahnya. Apakah itu arti sebenarnya dari kepemimpinan? Saya rasa bukan. Kepemimpinan adalah hal yang fleksibel dan tergantung dengan jaman. Karena ia bisa menjadi tidak sesuai lagi digunakan dalam masa tertentu padahal sangat efektif digunakan pada masa sebelumnya. Hal ini saya simpulkan dari buku karya Prof. Dr. Veithzal Rivai, M. B. A.
Abad 21, sebuah abad dimana revolusi teknologi terjadi yang kemudian di ikuti revolusi dalam aspek kehidupan yang lainnya. Hal ini disebabkan semakin meleburnya garis-garis batas antar negara. Adanya revolusi teknologi yang membawa perubahan pola hidup manusia akhirnya juga membawa perubahan pola pikir. Dengan adanya persaingan yang semakin mengganas, manusia pun dipaksa untuk punya kelebihan agar lebih unggul dari yang lain. Sifat asli manusia yang cenderung ingin menata hidupnya dengan caranya sendiri kini telah mendapatkan wadah yang tepat dengan adanya Hak Asasi Manusia. Karena itu, pola kepemimpinan lama yang lebih menekankan kepada bagaimana membuat orang lain mengikuti perintah kita dirasa sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa sekarang. Lalu bagaimakah tipe kepemimpinan yang tepat untuk abad ini?
Dalam buku ini diberikan sebuah gambaran yang dijelaskan secara gamblang hingga mungkin lebih pantas untuk dikatakan sebagai penjelasan dari pada gambaran tentang bagaimanakah kepemimpinan sekarang seharusnya.
Sosok pemimpin yang dicari di abad ini bukanlah pemimpin – pemimpin heroik seperti . Namun, yang dicari adalah sosok pemimpin-pemimpin hebat yang dapat mengembangkan potensi pengikutnya. Dunia membutuhkan pemimpin yang bukan hanya bisa memerintah saja, tapi ia juga bisa mengarahkan semua sumber daya dan potensi yang dipunyai oleh pengikut-pengikutnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas serta tanggung jawab mereka dengan cara mereka sendiri.
Oleh karena itu, ada terobosan bentuk kepemimpinan baru yang bernama Superleader. Konsep kepemimpinan ini lebih tepat diterapkan di era teknologi ini dibanding 3 bentuk lainnya, yakni strongman (diktator), the transactor (bekerja bila ada penghargaan), dan visionary hero (pemimin karismatik). Dalam konsep kepemimpinan ini, tidak ada yang namanya pemimpin (leader) dan pengikut (follower). Yang ada hanyalah Superleader dan Self-leader.
Superleader merupakan orang yang memimpin orang lain untuk memimpin dirinya sendiri. Sedangkan Self-leader adalah hasil cetakan seorang superleader yang diharapkan nantinya bisa memimpin dirinya sendiri dalam setiap pekerjaannya. Analogi dari sistem ini adalah dalam sebuah perusahaan, karyawan bukanlah lagi mereka yang hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh bossnya. Namun, karyawan adalah orang yang diberikan tanggungjawab oleh bossnya berupa pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh karyawan tersebut dengan caranya sendiri. Proses kepemimpinan ini bukan lagi dengan mempengaruhi orang lain agar ia mengikuti apa yang kita minta. Namun, proses kepemimpinan dalam tipe ini adalah bagaimana menyiapkan serta mencetak selfleader-selfleader baru agar ia secara independent mampu memimpin dirinya sendiri untuk memenuhi tuntutan kehidupan yang semakin banyak.
Dengan pembahasan yang sangat lengkap menurut saya, buku ini kemudian mengajak kita untuk terus menulusuri apa saja yang mesti dimiliki manusia untuk menjadi seorang leader. Kreativitas, pengandalian emosi, ketegasan dalam menghadapi pilihan, kemampuan memotivasi, kemampuan mengatasi masalah, kemampuan berkomunikasi, serta penerapan manajemen peran serta adalah materi wajib yang harus dimiliki setiap individu jika ingin memunculkan jiwa self leader dalam dirinya. Semua sudah dijelaskan dalam buku ini dengan sangat lengkap hingga hal-hal yang terkecil.
Buku ini tidak hanya memberikan kita suatu gambaran umum tentang kepemimpinan. Buku ini menyajikan semua tentang kepemimpinan sampai ke akar-akarnya. Sehingga setelah memmbaca buku ini saya langsung bisa mengidentifikasi seperti apakah sebuah kepemimpinan itu. Terlebih lagi ketika membahas tentang cara, misalnya kiat mengatasi konflik, buku ini tidak hanya mengandung teori-teori belaka yang kadang-kadang membuat kita bingung sendiri bagaimana cara menerapkannya. Atau bahkan kadang cara yang diberikan sangat tidak relevan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena terlalu bersifat teoritis dan konseptual. Di sini, penulis sering memberikan saran berupa langkah-langkah serta panduan bagaimana menerapkan konsep-konsep yang sudah ada. Sehingga, kita pun mengerti dan punya gambaran awal bagaimana kiat akan melakukannya atau setidaknya penulis telah menunjukkan tanggung jawabnya kepada pembaca dengan memberikan konsep yang memang bisa diterapkan dalam kehidupan. Hal ini bisa menjadi salah satu kelebihan dari buku ini.
Sebenarnya, hanya dengan melihat judul buku ini, banyak yang akan tertarik untuk membaca buku ini karena tema besar yang diangkat adalah tentang kepemimpinan. Sebuah topik pembicaraan yang sampai sekarang masih menjadi topik ter-earcatching untuk dibicarakan. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat memang ada jiwa kepemimpinan dalam setiap diri manusia. Namun, ada beberapa hal yang membuat saya labih tertarik membaca buku ini daripada buku lainnya. Yang pertama, buku ini tidak hanya bersifat konseptual, tapi penulis mencantumkan hal-hal konkret seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya.
 Yang kedua, buku ini dilengkapi dengan tabel-tabel disamping adanya penjelasan ketika akan membandingkan satu hal dengan yang lainnya. Sehingga memudahkan orang seperti saya yang memang tidak suka membaca teks-teks panjang yang monoton hanya disajikan dalam bentuk narasi.
Ketiga, penyajiannya dalam bentuk point-point dan setiap sub judulnya pembahasannya tidak terlalu panjang yang sekali lagi memudahkan orang-orang dengan tipe seperti saya. Yang ke empat, buku ini dilengkapi dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang memang kadang lebih punya banyak kosakata untuk menggambarkan sesuatu.
Misalnya saja ketika penulis ingin menggambarkan seperti apa pemimpin sebenarnya. Pemimpin abad 21 adalah pemimpin yang seperti disebutkan dalam surat An-Nur ayat 66
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nur (24):55)
Ayat ini lebih bisa langsung bisa menggambarkan bahwa pemimpin yang dicari saat ini adalh pemimpn yangn  آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَات (beriman dan beramal saleh). Pernyataan ini tentu saja langsung memberikan suatu pancingan bahwa yang namanya pemimpin adalah orang-orang yang lurus akhlaknya, baik budinya, jujur, tangging jawab, adil serta bijaksana. Pemimpin adalah mereka yang bisa menempatkna dirinya dalam posisi yang baik dan benar.
Cukuplah disini kita melihat bahwa kepemimpinan yang hebat sebenarnya bukanlah dilihat dari faktor luar, tapi dilihat dari apa yang ada dalam dirinya sendiri. Sungguh benar jika ada yang bilang “anda tidak akan menjadi pemimpin sebelum anda selesai dengan diri anda sendiri”. Ketika kita sudah mampu memimpin diri kita sendiri dengan baik, maka kita akan terlihat baik di mata orang lain karena bisa menempatkan segalanya dengan baik dan benar.
Atau misalnya ketika ingin memberikan gambaran tentang kepribadian seorang pemimpin, maka penulis langsung mengambil surat Al Ahzab (33): 21 sebagai referensinya.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Pengambilan contoh dari orang-orang hebat ini pula yang membuat saya terus tertarik membaca buku ini hingga selesai. Hal ini bisa memberikan gambaran atau bahkan mindcontrol pada kita, kemanakah kita bisa berkiblat jika kita ingin menjadi seorang pemimpin. Dan untuk kali ini, sangat tepat menjadikan Rasulullah SAW sebagai contoh karena memang beliaulah tokoh yang bisa dikatakan berhasil dalam semua urusan keduniaan di samping keakhiratan. Hal ini sudah diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Bahkan dalam salah satu karya Michelle Hart, Rasulullah ditempatkan sebagai orang pertama yang paling berpengaruh sepanjang masa.
Sayangnya ada beberapa hal yang membuat buku ini terasa kurang. Bahkan, pada awalnya saya sempat merasa bosan untuk membaca buku ini. Hal ini disebabkan banyak kalimat yang kurang efektif digunakan. Hal ini membuat saya merasa bingung sendiri apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh penulis. Selain itu, ada juga beberapa kalimat yang struktur kalimatnya salah. Mungkin selanjutnya bisa dipertimbangkan untuk menggunakan editor agar pembaca juga nyaman dalam membaca buku ini.
Secara keseluruhan buku ini sangatlah menarik untuk dibaca. Dengan topik yang begitu menyenangkan buku ini dapat menarik masyarakat untuk membelinya atau peling tidak membacanya secara scanning. Buku ini memberikan inspirasi dan pencerdasan kepada kita bahwa Kepemimpinan bukan hanya memerintah dan mempengaruhi, tapi pemimpin adalah orang yang seperti dikatakan oleh seorng senior saya bahwa mereka bagai 5 jari dalam organisasi.
Jempol, dialah motivator.
Telunjuk, dialah instruktor dan pemberi arah kerja.
Jari tengah, dialah penengah dan hakim jika terjadi perselisihan ataupun kesalahpahaman dalam organisasi.
Jari manis,dialah pelengkap.
Kelingking, dialah pelayan.
Pemimpin adalah orang yang bisa menggunakan dan memanfaatkan seluruh sumberdaya yang dipunyai oleh sumberdaya manusia yang dimilikinya.
Pemimpin adalah mereka yang bisa mengarahkan orang lain untuk bisa memimpin dirinya sendiri.

Haniatur Rosyidah
FIB 2010
Student Development Program
University of Indonesia
2011

Kerajaan dalam Demokrasi


Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka dari jajahan bangsa Eropa dan Jepang. Selama itu pula sistem pemerintahan Indonesia mengalami trial and error sebelum akhirnya diputuskan bahwa demokrasi yang menjadi dasar sistem pemerintahan serta perpolitikan Indonesia hingga kini. Namun, waktu serta proses yang lama itu nampaknya tak juga mampu mencabut sejarah masa lalu yang sudah tertanam dalam diri dan kepribadian bangsa Indonesia selama berabad-abad. Bayang-bayang kerajaan lengkap dengan sistemnya terus menghantui bangsa Indonesia hingga saat ini. Hal ini tentu sangat tidak mengherankan. Budaya serta sistem masyarakat yang sudah tertanam dan menjadi kepribadian masyarakat akan sangat sulit untuk dirubah. Kalaupun perubahan itu tetap dipaksakan, maka yang terjadi adalah seperti Indonesia saat ini. Adanya kerajaan beserta sistem-sistemnya dalam demokrasi Indonesia.
“Suami istri bersaing dalam pemilihan kepala daerah. Dua istri mantan Bupati sama-sama mencalonkan diri untuk menggantikan suami mereka”.
Inilah kasus yang saya temukan ketika pemilihan kepala daerah pada tahun 2010 lalu. Berita seperti ini pasti akan terdengar seru dan menarik. Sayangnya, jika kita telisik lebih dalam, akan terlihat bahwa inilah benih-benih adanya dinasti politik. Jika kita memandang hal ini dari hak asasi manusia serta kebebasan individu, kasus ini tentu saja akan terlihat sah-sah saja. Namun, faktanya satu keluarga yang telah memiliki pencitraan yang baik di mata masyarakat, disebabkan diantara anggota keluarga tersebut ada yang menjadi kepala daerah misalnya, akan lebih mudah untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga akan sangat tidak sehat bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Dari sini, terlihat bahwa bangsa Indonesia sebenarnya kurang siap untuk menerima sistem lain yang berbeda dari kebudayaan serta tradisi yang selama ini mereka anut. Jika kita lihat sekarang, dengan adanya kerajaan-kerajaan yang masih berdiri kokoh di atas tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sangat tidak sesuai jika bangsa Indonesia dikatakan sebagai negara republik apalagi demokrasi.
Terbawanya sejarah masa lalu Indonesia ternyata bukan hanya terjadi dalam sistem pemerintahan, tapi juga terjadi dalam dunia perpolitikan sendiri. Suap-menyuap, salah satu kasus korupsi klasik yang menjadi momok pemimpin-pemimpin, wakil rakyat Indonesia, serta lembaga peradilan sebenarnya di pandang berbeda oleh masyarakat. Mungkin memang sekarang sudah banyak yang sadar bahwa suap-menyuap adalah salah satu hal yang dapat meniadakan keadilan di negeri ini. Sehingga, kini banyak masyarakat yang dengan sukarela menngencarkan gerakan pemberantasan mafia hukum atau kasus suap dan lain-lain. Namun, di tengah kebanyakan masyarakat Indonesia suap-menyuap masih dipandang sebagai suatu tradisi, yakni pemberian upeti.
Upeti merupakan hadiah atau persembahan yang diberikan oleh rakyat kepada rajanya, maupun abdi kepada rajanya sebagai simbol dari kesetiaan. Sebagai imbalan, raja tersebut akan memberikan perlindungan, pertolongan, ataupun kekuasaan kepada orang yang memberikan upeti tersebut. Sistem upeti ini sangat erat dengan sistem kerajaan. Sistem seperti inilah yang sampai saat ini diterapkan oleh bangsa Indonesia dalam kasus suap menyuap. Alhasil, dalam kacamata masyarakat, suap menyuap bukanlah kasus kriminalitas, tapi hanya sebuah bentuk dari timbal balik karena telah diberikan pertolongan ataupun kekuasaan dari orang tersebut.
Adanya sistem-sistem kerajaan dalam demokrasi seperti ini bukanlah hal yang baru. Bagi masyarakat, hal yang baru adalah demokrasi itu sendiri. Sedangkan, sistem kerajaan merupakan suatu kepribadian bangsa yang memang sudah tertanam dan mendarah daging dalam kepribadian masyarakat selama berabad-abad. Karena hal ini sudah mengakar dalam sistem pemerintahan, birokrasi maupun kemasyarakatan, maka sistem-sistem ini sulit diberantas.
Hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Kembali kepada hakikat kepribadian bangsa Indonesia, atau bekerja keras untuk menjadikan Indonesia negara demokrasi secara utuh.

Haniatur Rosyidah
FIB 2010
Student Development Program
University of Indonesia
2011



Smart Love: Menghindar dari Berduaan dan Menutup Pintu Peluang itu Penting


Rasulullah SAW. memberikan banyak langkah solutif untuk hamba-Nya yang ingin menjaga hati dari lawan jenisnya. Salah satunya adalah dengan tidak berdua atau tidak berkhalwat dengan lawan jenis. Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,”Hendaknya engkau tidak berdua,karena yang ketiga adalah setan.”
Ada beberapa hikmah tidak dibolehkannya berkhalwat atau berduaan saja. Kira-kira begini, orang itu jika merasa bahwa hanya ada aku dan dia, maka ia merasa bebas dan aman untuk mengatakan atau membicarakan apa saja, termasuk untuk mengatakan,”Aku cinta kamu.” Bagi orang yang berduaan, tidak ada yang tabu dan harus ditutup-tutupi untuk dibicarakan. Semua legal untuk diperbincangkan. Bahkan, bagi orang pacaran, semua legal untuk dilakukan ketika berdua, seperti ciuman belaian, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, setan sebagai pihak ketiga akan selalu mendukung semua yang dilakukan pelakunya. Setan selalu membisikkan penyimpangan, seakan-akan setan selalu berteriak,”Ayo, teruskan! Nikmati kebersamaan ini! Kesempatan tidak datang dua kali! Dosa dipikir nanti saja, yang penting saat ini adalah kalian bahagia!”
Maka Allah SWT. menggantikan posisi setan sebagai pihak ketiga ini dengan manusia. Asumsinya, keberadaan orang ketiga akan mengendalikan pembicaraan dan semua aktivitas selama berada dalam forum bersama. Perasaan malu dan tidak aman untuk menumpahkan perasaan itulah yang diharapkan dari kehadiran orang ketiga. Memang tidak menyenangkan, tetapi hal itu jauh lebih baik untuk hati kita.
Namun, jika kita jeli, saat ini banyak orang menafsirkan makna berduaan (khlawat) dengan berbagai penafsiran. Celah untuk mendapatkan kesempatan berdua pun dicari. Semuanya itu ditafsirkan bahwa berdua itu bukanlah berkhlawat. Sebut saja dua orang saling berkomunikasi dengan ponsel (SMS), email dan chatting, telepon, ataupun surat. Secara fisik, memang mereka tidak bertemu muka atau badan, tapi hati mereka tetap bertemu. Bagaimana mungkin mereka tidak bertemu hati sedang dengan berbagai sarana itu, mereka saling menumpahkan perasaan, persis seperti ketika mereka bertemu di darat
Baik, coba simak penggalan SMS cinta berikut ini,
“Assalamu’alaikum. Di sepertiga malam, Allah turunkan rahmat untuk orang-orang yang bersujud pada-Nya. Selamat meraih cinta-Nya!”
SMS sampai, missedcall pun datang. Sementara di pihak perempuan yang menerima, SMS itu membuatnya tersipu seorang diri. Seakan ia bingung harus bersyukur atau beristighfar. Bersyukur karena ia mendapat perhatian spesial dari seorang laki-laki yang mungkin dia haarapkan. Sementara di sudut hatinya, ia beristighfar karena ia tahu tidak semestinya perasaan itu ia nikmati.
“Terima kasih, semoga cinta Allah senantiasa bersama kita.”
Kata ‘kita’ seringkali menjadi senditif di benak dua orang yang tengah berdua saja. Sang lelaki pun membalas dengan missedcall.
Azan subuh nyaring terdengar. Usai shalat, sesaat kemudian ponsel kembali berbunyi. “Maaf, saya perlu cattan kuliah untuk ujian minggu depan. Saya bisa pinjam catatan kamu? Kalau bisa, saya tunggu di masjid kampus, habis rapat nanti.
Semakin berdebar kencang hati si perempuan ini. “Kok, pinjamnya sama saya, ya?” Segera ia merancang rencana untuk menulis ulang catatan itu dengan rapi, berharap si lelaki akan mengaguminya.
“In Sya Allah, nanti saya bawakan. Nanti saya harus tunggu di mana?”
“Di tempat biasanya saja. Di pojok taman dekat orang jualan minuman.”
Nah, lho! Tempatnya pun di pilih. Padahal kalau hanya sekadar memberikan catatan kuliah, bisa saja langsung seusai rapat, pada saat masih banyak orang di situ. Kira-kira kenapa ya harus memilih di pojok taman dekat orang jualan minuman? Atau biar bebas bercengkerama ke sana kamari hanya berdua saja, mereka pun tidak terima karena di situ ada penjual minuman, ada pembeli, dekat parkir motor yang setiap saat berlalu-lalang.
“Masya Allah, catatannya rapi sekali. Enggak salah saya pinjam ke kamu.”
Sementara si perempuan semakin tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Dengan wajah bersemu merah, ia hanya menjawab singkat,”Ah, enggak, kok. Kamu saja yang berlebihan menilai.”
Lalu, si laki-laki membuka-buka dengan agak detail. “Wah, kayaknya banyak yang harus diterangkan, nih. Saya bebrapa kali enggak masuk.”
“Kalau bisa, enggak pa-pa nanti saya bantu. Kamu SMS saja, ya? Kenapa kamu jarang masuk? Aktivis kampus itu harus rajin kuliah, lho!” Jawaban-jawaban model ini membuat si laki-laki merasa dipersilahkan masuk. Ia pun masuk dengan membawa segala permasalahan yang ingin disampaikan.
“Saya harus bekerja. Itu tuntutan karena bapak sekarang sakit. Adik saya tiga orang. Enggak mungkin sebagai laki-laki saya membiarkan ibu saya bekerja membanting tulang sendiri, selain juga enggak cukup. Belum lagi aktivitas kampus yang seabreg.”
“Ya, yang sabar, ya? Saya hanya bisa berdo’a untuk kamu. Kalu ada yang bisa saya bantu, bilang saja.
Begitu seterusnya sampai tidak sadar satu jam berlalu. Banyak cerita bisa disampaikan. Banyak empati bisa diberikan. Dalam hati, mereka merasa telah menemukan soulmate.  Saat diingatkan untuk membatasi kedekatan, mereka pun ber-apology bahwa si laki-laki membutuhkan tempat untuk menumpahkan segala bebannya agar maksimal di dakwah. Lalu, apa yang salah?
Biasanya kedekatan-kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun dengan melibatkan emosisaling ketergantungan akan sulit dipisahkan. Sebagaimana kedekatan antara suami dan istri. Kedekatan seperti itu menuntut untuk terus bersama, Bahkan berdua. Mereka saling bergantung dan spontan saling bertukar masalah dan empati. Kekuatan emosi ketergantunganitulah yang akan melanggengkan hubungan suami istri.
Tapi sayang, dalam konteks cerita di atas, laki-laki dan perempuan itu bukan suami istri. Kepemilikan mereka atas emosi saling ketergantungan itu pun tidak pas. Sebagai muslim yang bersaudara, memang Allah SWT, memberikan perintah untuk saling membantu ketiak susah, saling memberi motivasi ketika lemah, saling berbagi berita bahagia, dan sebagainya. Tapi murni dalam konteks ukhuwah, tidak terbersit niat lain. Cirinya, cinta dan perhatian itu diberikan rata kepada semua saudara, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada yang dikhususkan. Nah, kalu sudah ada yang dispesialkan, apalagi lawan jenis, sepertinya segera harus diluruskan kembali.
Ingat, kita buakn satu-satunya pahlawan atau hero untuk teman kita. Karena sesungguhnya dalam konteks ukhuwah, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi pahlawan bagi teman yang lain. Kalau ada teman lakia-laki yang memiliki masalah, tidak semestinya kita mencap bahwa hanya kitalah yang didengar dan dipercaya. Masih banyak teman laki-laki lain yang bisa membantu teman kita itu. Dan itu lebih pas. Begitu juga sebaliknya. Kalu ada teman perempuan kita memiliki masalah, jangan sekali-kali mencap bahwa hanya kitalah yang didengar dan dipercaya. Kembalikan semaunya pada tempatnya.
Masalah lain yang harus diperhatikan terkait dengan berdua-duaan ini adalah esensinya. Esensi berdua di dalam khalwat adalah bertemunya hati dua orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak dibingaki dalam pernikahan. Bukan hanya bertemunya dua fisik laki-laki dan perempuan. Kecanggihan teknologi telah membuat semuanya bergeser. Ponsel, internet, telepon atau surat bisa membuat orang berkhalwat meski tidak bertemu fisik. Bagaimana bisa dibilang tidak berkhalwat sementara pembicaraan mereka sedemikian jauh mencapai wilayah-wilayah hati dan perasaan dua orang, laki-laki dan perempuan? Bahkan kadang-kadang, pembicaraan yang tidak mempertemukan fisik membuat mereka lebih bebas untuk mengungkapkan apa saja.
Tetapi, kadang-kadang kebersamaan dua orang dalam suasana yang ramai pun bisa menjadi khalwat. Seperti cerita di atas, Mereka berdua berada dalam hiruk-pikuk orang-orang yang parkir motor, penjual dan pembeli minuman, orang yang berlalu-lalang shalat di masjid, tetapi selama mereka tidak terlibat pembicaraan berdua itu,mereka tetap berdua-duaan. Kita kembalikan esensi orang ketiga dalam kebersamaan itu, yaitu sebagai pengendali. Itulah, kadang-kadang kita melegitimasi sebuah kesalahan yang kita lakukan dalam berkhalwat dengan menyertakan orang-orang di sekitar yang mereka tidak pernah tahu dengan apa yang mereka berdua lakukan. Jika kita berduaan di dalam masjid, tidak semestinya kita melegitimasi diri dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tengah shalat itu sebagai orang ketiga. Jika kita berduaan di supermarket, tidak semestinya kita melegitimasi diri dengan mengatakan bahwa banyaknya orang belanja itu sebagai orang ketiga. Begitu pun jika kita bertiga dan pada saat pembicaraan tadi, kita ‘mengusir’ teman yang satunya untuk duduk tiga meter dari kita, tetap saja kita melakukan khalwat.
Esensi berdua-duaan adalah proses berinteraksinya hati di mana ada muara rasa yang sama alias bertemunya hati. Pendek kata ada ‘klik’ di hati. Untuk menedeteksi kita berdua-duaan atau tidak, maka tanyakanlah pada hati dengan kejujuran.
Ya, sebaiknya kita tidak membuka peluang pada teman yang akan jatuh cinta pada kita. Karena kita pun akan mendapat imbasnya. Mungkin kadang-kadang kita sengaja membuka peluang karena kita pun memiliki rasa cinta kepada teman lawan jenis. Jika orang yang kita harapkan menangkap peluang itu, hati kita pastiakan berbunga-bunga. Namun, jika ternyata orang yang kita harapkan itu cuek saja atau tidak menanggapi ‘undangan’ kita, kita pun akan merasa kecewa.
Bahkan terkadang, karena karakter ketulusan kita dan perhatian kita, secara tidak sadar peluang itu pun terbuka. Istilahnya orang merasa dipersilahkan masuk, padahal sebenarnya kita tidak bermaksud demikian. Kebaikan-kebaikan dan perhatian yang kita berikan  kepada orang lain seringkali membuat orang GR. Namun, jangan sampai ke-GR-an orang lain karena sikap kita membuat kita mengubah karakter. Yang diperlukan di sini hanya ketepatan menempatkan secara proporsional. Kita harus tahu kapan dan dengan siapa berkata dengan lemah lembut, memberikan empati saat orang lain mendapat musibah, atau memberinya pujian dan semangat saat orang lain lemah.
Membuka peluang sering kali dilakukan dengan kata-kata dalam komunikasi tulis. Lewat SMS misalnya. Dalam contoh di atas, beberapa kalimat memberikan harapan bagi lawan jenisnya untuk ‘masuk’. Misalnya kata-kata,”Terima kasih, semoga cinta Allah senantiasa bersama kita.” Tanggapan positif dengan mengatasnamakan ‘kita’ itu sudah membuat hati orang berdebar-debar. Ia merasa sapaannya mendapat sambutan baik. Artinya, ia boleh masuk dan melanjutkan komunikasi. Tapi mungkin akan berbeda jika kita menjawab,”Terima kasih, semoga cinta Allah diberikan kepada seluruh umat-Nya di muka bumi. Apakah kamu sudah mengingatkan yang lain?”
Kata-kata lain yang memberi peluang adalah ,”In Sya Allah, nanti saya bawakan. Nanti saya harus tunggu dimana?” Jawaban itu mengisyaratkan bahwa sebenarnya kita pun menginginkan pertemuan dengan ‘si dia’. Kalau hati kita tidak mengharapkan pertemuan, semestinya cukup dengan kata-kata,”In sya Allah, nanti saya taruh diKalau hati kita tidak mengharapkan pertemuan, semestinya cukup dengan kata-kata,”In sya Allah, nanti saya taruh di loker sekret.” Atau “In Sya Allah, nanti saya kasih di rapat.” Dan semestinya begitu karena seremonial orang meminjam itu hanya menyerahkan barang, kalau acara berlanjut dengan bertemu, mengobrol, itu sudah berubah menjadi seremonial berduaan.
Selain berkomunikasi lewat SMS, seringkali juga peluang itu dibuka dalam komunikasi lisan. Seperti dalam contoh di atas, dalam pembicaraan dua orang, laki-laki dan perempuan, di mana si laki-laki menyampaikan beban hidupnya dan si perempuan memberikan empati yang menyejukkan.
“Kalau bisa, enggak pa-pa nanti saya bantu. Kamu SMS saja, ya? Kenapa kamu jarang masuk? Aktivis kampus itu harus rajin kuliah, lho!”
Jawaban-jawaban model begini, membuat si laki-laki dipersilahkan masuk. Ia pun masuk dengan membawa segala permasalahan yang ingin disampaikan. Hatinya pasti akan bergetar dan berbunga-bunga. Saat-saat berdua pun menjadi saat yang dinantikan . Empati-empati lembut pun menjadi kata-kata harum dan penuh tenaga. Bukankah orang yang bercinta itu akan selalu mendengarkan kata-kata orang yang dicintainya? Sambil terus bersyukur dan berandai-andai dalam hati,”Subhanallah, ada wanita selembut ini. Ah, andai dia menjadi istriku kelak.” Nah lho, imajinasinya melesat ke dunia antah-berantah.
Padahal mungkin akan lebih enak jika kita memberikan do’a saja, kemudian menyampaikan pada orang terdekatnya bahwa si laki-laki membutuhkan bantuan dan dukungan. Jika sewaktu-waktu ada yang bisa kita bantu, maka kita bisa bertindak dalam sebuah “amal kolektif”, bukan “amal pribadi”. Amal kolektif itu amal yang dilakukan bersama-sama. Penyelesaian dan dukungan untuk meringankan bebannya dilakukan bersama. Dalam “amal kolektif”, kita tidak akan malu-malu untuk melakukan senuatu. Berbeda kalau kita berbuat sebagai “amal pribadi”, biasanya kita akan ketakutan dan malu jika ada yang mengetahui apa yang kita lakukan.
Akan sangat berbahaya jika salah satunya sudah menikah. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tegas.
                                                                       
                              Dikutip dari buku “Smart love” karya Kusmarwanti, M. Idham 
dengan sedikit perubahan