Pages

Senin, 05 Desember 2011

Kerajaan dalam Demokrasi


Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka dari jajahan bangsa Eropa dan Jepang. Selama itu pula sistem pemerintahan Indonesia mengalami trial and error sebelum akhirnya diputuskan bahwa demokrasi yang menjadi dasar sistem pemerintahan serta perpolitikan Indonesia hingga kini. Namun, waktu serta proses yang lama itu nampaknya tak juga mampu mencabut sejarah masa lalu yang sudah tertanam dalam diri dan kepribadian bangsa Indonesia selama berabad-abad. Bayang-bayang kerajaan lengkap dengan sistemnya terus menghantui bangsa Indonesia hingga saat ini. Hal ini tentu sangat tidak mengherankan. Budaya serta sistem masyarakat yang sudah tertanam dan menjadi kepribadian masyarakat akan sangat sulit untuk dirubah. Kalaupun perubahan itu tetap dipaksakan, maka yang terjadi adalah seperti Indonesia saat ini. Adanya kerajaan beserta sistem-sistemnya dalam demokrasi Indonesia.
“Suami istri bersaing dalam pemilihan kepala daerah. Dua istri mantan Bupati sama-sama mencalonkan diri untuk menggantikan suami mereka”.
Inilah kasus yang saya temukan ketika pemilihan kepala daerah pada tahun 2010 lalu. Berita seperti ini pasti akan terdengar seru dan menarik. Sayangnya, jika kita telisik lebih dalam, akan terlihat bahwa inilah benih-benih adanya dinasti politik. Jika kita memandang hal ini dari hak asasi manusia serta kebebasan individu, kasus ini tentu saja akan terlihat sah-sah saja. Namun, faktanya satu keluarga yang telah memiliki pencitraan yang baik di mata masyarakat, disebabkan diantara anggota keluarga tersebut ada yang menjadi kepala daerah misalnya, akan lebih mudah untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga akan sangat tidak sehat bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Dari sini, terlihat bahwa bangsa Indonesia sebenarnya kurang siap untuk menerima sistem lain yang berbeda dari kebudayaan serta tradisi yang selama ini mereka anut. Jika kita lihat sekarang, dengan adanya kerajaan-kerajaan yang masih berdiri kokoh di atas tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sangat tidak sesuai jika bangsa Indonesia dikatakan sebagai negara republik apalagi demokrasi.
Terbawanya sejarah masa lalu Indonesia ternyata bukan hanya terjadi dalam sistem pemerintahan, tapi juga terjadi dalam dunia perpolitikan sendiri. Suap-menyuap, salah satu kasus korupsi klasik yang menjadi momok pemimpin-pemimpin, wakil rakyat Indonesia, serta lembaga peradilan sebenarnya di pandang berbeda oleh masyarakat. Mungkin memang sekarang sudah banyak yang sadar bahwa suap-menyuap adalah salah satu hal yang dapat meniadakan keadilan di negeri ini. Sehingga, kini banyak masyarakat yang dengan sukarela menngencarkan gerakan pemberantasan mafia hukum atau kasus suap dan lain-lain. Namun, di tengah kebanyakan masyarakat Indonesia suap-menyuap masih dipandang sebagai suatu tradisi, yakni pemberian upeti.
Upeti merupakan hadiah atau persembahan yang diberikan oleh rakyat kepada rajanya, maupun abdi kepada rajanya sebagai simbol dari kesetiaan. Sebagai imbalan, raja tersebut akan memberikan perlindungan, pertolongan, ataupun kekuasaan kepada orang yang memberikan upeti tersebut. Sistem upeti ini sangat erat dengan sistem kerajaan. Sistem seperti inilah yang sampai saat ini diterapkan oleh bangsa Indonesia dalam kasus suap menyuap. Alhasil, dalam kacamata masyarakat, suap menyuap bukanlah kasus kriminalitas, tapi hanya sebuah bentuk dari timbal balik karena telah diberikan pertolongan ataupun kekuasaan dari orang tersebut.
Adanya sistem-sistem kerajaan dalam demokrasi seperti ini bukanlah hal yang baru. Bagi masyarakat, hal yang baru adalah demokrasi itu sendiri. Sedangkan, sistem kerajaan merupakan suatu kepribadian bangsa yang memang sudah tertanam dan mendarah daging dalam kepribadian masyarakat selama berabad-abad. Karena hal ini sudah mengakar dalam sistem pemerintahan, birokrasi maupun kemasyarakatan, maka sistem-sistem ini sulit diberantas.
Hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Kembali kepada hakikat kepribadian bangsa Indonesia, atau bekerja keras untuk menjadikan Indonesia negara demokrasi secara utuh.

Haniatur Rosyidah
FIB 2010
Student Development Program
University of Indonesia
2011



0 komentar:

Posting Komentar