Beberapa hari yang lalu Salam UI mengadakan sebuah acara besar dimana saya juga menjadi salah satu panitianya, yakni Simposium Internasional 5. Sesuai dengan tema besarnya “Dari Jakarta Hingga Jalur Gaza”, acara ini bertujuan untuk menggalang dana yang kemudian akan diberikan kepada rakyat Palestina berupa beasiswa pendidikan.
Ada yang menarik ketika saya ikut mencari donasi. Ada orang yang kemudian bertanya kepada saya. Pertanyaan yang diajukan kurang lebih memiliki redaksional seperti ini, ”Kenapa harus Palestina yang dibantu, padahal di Indonesia sendiri masih banyak masyarakat yang layak untuk dibantu?” Pertanyaan yang cukup menyentil dan cukup sulit bagi saya untuk menjawabnya. Saya balik pertanyaan tersebut menjadi seperti ini. “Kenapa warga Palestina harus membantu korban bencana Merapi serta Mentawai, padahal warga di jalur Gaza lebih membutuhkan mereka?” Sama saja kan ?
Inilah kehidupan. Semua ada masanya. Ketika Indonesia sedang dilanda bencana, warga Palestina memberikan bantuan untuk kita. Dan kini saat Palestina selalu dilanda bencana buatan Israel, sudah sepatutnya kita memberikan bantuan pada mereka. Enough. Itu jawabannya.
Bukan ini yang terpenting. Saya hanya ingin mengajak warga Indonesia khususnya kita, para pemuda, untuk menyelami Palestina lebih mendalam karena sayang sekali jika kita hanya melihat Gaza dari sisi kemanusiaannya saja. Padahal ada banyak pelajaran berharga yang harus kita ambil dari mereka.
Palestina, sebuah negara yang menggambarkan potret suram penegakan Hak Asasi Manusia, yang justru terjadi di zaman ketika semua orang sedang gencar-gencarnya menyuarakan HAM itu sendiri. Agak membingungkan, bukan? Pasti. Namun, inilah kenyataannya.
Berbicara soal Palestina tentu akan ada perasaan prihatin yang muncul dalam diri kita. Memikirkan nasib warganya yang terus dibombardir oleh pasukan Israel membuat kita tak segan dan malu untuk menitikkan air mata. Namun, jangan salah. Palestina bukanlah bangsa yang lemah. Inilah yang membedakan mereka dengan kita. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah Ummi edisi no.3/XXII/Juli 2010/1431 H yang berjudul Palestina Ladang Jihad Muslim, tidak ada satupun pengemis dan gelandangan yang terlihat di Palestina. Sebuah berita yang membuat saya sendiri terheran-heran. Jika ada yang berpikir mereka berkecukupan karena bantuan kemanusiaan dari seluruh dunia yang dikirim kesana, mungkin Anda harus berpikir dua kali. Palestina sudah lama dikepung oleh Israel baik lewat jalan darat maupun laut. Ditambah dengan ditutupnya akses darat oleh Mesir. Bantuan sangat sulit menembus barikade tersebut. Tidak sedikit relawan yang kecewa dan kembali pulang karena tidak bisa masuk ke jalur gaza walaupun hanya untuk mengirimkan bantuan. Lebih miris lagi fakta bahwa hanya untuk membeli kebutuhan atau menjualnya lagi, penduduk Palestina yang ada di Gaza memilih untuk membangun terowongan dan melewatinya, yang kita juga sama-sama tahu tidak sedikit ancaman yang dapat merenggut nyawa mereka karena terus dibombardir. Namun dengan kondisi seperti itu, tidak ada rakyat Palestina yang berpikir untuk menjadi pengemis atau pengamen jalanan.
Bandingkan dengan kondisi Indonesia. Di negeri yang katanya makmur karena kaya akan sumber daya alam, sumber daya manusia, seni budaya dan bla...bla…bla. Di setiap sudut jalan ibu kota, kita bisa menemukan pengemis, pengamen, dan gelandangan dengan mudahnya. Tentu saja kita tidak bisa langsung menyalahkan mereka. Mungkin ini potret dari kita-saya dan semua orang Indonesia- yang juga ikut andil membiarkan mereka untuk menjadi pengemis dan gelandangan. Atau mungkin hal ini merupakan potret dari para penguasa yang hanya ongkang-ongkang kaki di gedung tinggi bertingkat sana sementara yang menghidupi adalah rakyatnya. Sedangkan, Palestina adalah sebuah negara yang kepemimpinanya-Hamas-tidak pernah diakui oleh dunia. Namun, diakui maupun tidak, mereka tetap dicintai oleh warga Palestina. Kita bisa simpulkan sendiri kepemimpinan semacam apa Hamas itu hingga warganya tetap mencintainya ditengah teror yang terus menderu.
Bukannya saya ingin mengatakan bahwa bangsa ini lemah. Bangsa ini kuat. Didukung dengan berbagai sumber daya alam yang dimiliki serta letaknya yang strategis, seharusnya Indonesia adalah Negara yang kuat. Sangat kuat bahkan. Namun, inilah yang tidak pernah disadari bangsa kita. Akhirnya, kita pun terlena dengan berbagai teknologi yang terus berkembang. Bahkan banyak dari kita yang mendewakan bangsa lain. Jangan menyesal kalau sekarang kita sudah tidak bisa lagi memiliki apa yang seharusnya menjadi milik kita karena sebenarnya kita lah yang memberikannya pada mereka. Jangan pernah teriak jika ada seni dan kebudayaan milik bangsa Indonesia yang diambil oleh bangsa lain karena banyak dari kita yang tidak peduli bahkan untuk meliriknya pun tidak mau. Alasannya, coba bayangkan. Norak lah. Cupu lah. Jadul lah. Inilah bangsa kita.
Indonesia…
Pelajaran paling berharga yang tidak boleh kita lupakan dari Gaza adalah rasa cinta tanah air yang tidak pernah sedikitpun terkikis dari jiwa-jiwa mereka. Harga diri keluarga, bangsa, serta agama selalu mereka junjung tinggi, bahkan mereka tak peduli jika nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Itulah rasa nasionalisme sejati. Mereka tak pernah lari meninggalkan negaranya walaupun teror bom dan rudal terus mereka terima. Rasa cinta pada tanah kelahiran serta agama mereka telah menyatu dalam ruh-ruh suci mereka yang tidak akan mungkin bisa dipisahkan lagi.
Rasa ini yang dulu juga dimiliki oleh para pejuang kemerdekaan pada masa lalu. Iming-iming harta, tahta, dan wanita mereka tinggalkan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peluh dan darah yang terus mengalir dari tubuh mereka tak cukup untuk membuat mereka gentar.
Inilah jiwa-jiwa yang dirindukan oleh bangsa. Rasa nasionalisme yang membuncah memenuhi jiwa merekalah yang akan mengantarkan mereka menuju niat suci untuk membangun bangsa Indonesia, memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan modern yang sekarang sudah menjerat sebagian besar masyarakat. Ia yang akhirnya akan meminta kita untuk lebih menghargai produk pribumi. Ia pula yang membisikkan kata halus pada hati kita untuk tidak mendiskriminasikan suku, ras maupun agama manapun karena bangsa ini dibangun oleh perbedaan dan perbedaan itulah yang akan membuatnya kuat.
Memang kita bisa melakukan penyangkalan dengan mengatakan “warga Gaza mempunyai rasa nasionalisme tinggi karena mereka sudah diduduki oleh Israel, sedangkan negara kita masih aman-aman saja.” Memang benar, tapi apa perlu kita menunggu harus ada bangsa lain yang berusaha merebut kedaulatan negara kita terlebih dahulu baru kita akan sadar bahwa rasa nasionalisme, seperti harus ada euforia final AFF terlebih dahulu baru kita sadar bahwa kita juga punya timnas yang kuat, seperti harus ada kesenian yang diklaim oleh bangsa lain dulu, baru kita sadar bahwa banyak yang harus kita jaga.
Indonesia dan Palestina sebenarnya sama saja. Sama-sama belum merdeka. Perbedaannya hanyalah jika Palestina diduduki bangsa lain yang berusaha merebut wilayah mereka, kita dijajah oleh bangsa kita sendiri. Oleh sikap konsumtif serta kurangnya rasa nasionalisme yang menyebabkan ketidakpedulian kita pada bangsa ini. Sehingga kita tidak sadar bahwa bangsa asing lah yang sekarang menguasai ekonomi kita. Jika kita terus membiarkan hal ini, lambat laun kita akan membayar pada bangsa asing untuk tinggal di tanah kita sendiri. Apa namanya kalau bukan penjajahan?
Teman, jangan biarkan Indonesia menjadi Gaza selanjutnya karena kelalaian serta kelengahan kita. Jangan sampai kita terlalu terlena dengan segala fasilitas yang disodorkan pada kita dan melupakan bahwa Indonesia adalah tanggung jawab kita. Masa depan Indonesia tergantung dengan apa yang kita inginkan, impikan, dan lakukan saat ini.
Dari Gaza kita bisa belajar persaudaraan,
dari Gaza kita bisa belajar persatuan,
dari Gaza kita bisa belajar arti perjuangan,
dari Gaza kita bias belajar pentingnya menghargai arti kemerdekaan,
dari Gaza kita bisa belajar betapa indahnya kebebasan, dan
dari Gaza kita bisa belajar rasa nasionalisme yang sesungguhnya.
Dari Gaza Hingga Indonesia…
16 Januari 2011
Haniatur Rosyidah
FIB 2010
Student Development Program
University of Indonesia
2011
0 komentar:
Posting Komentar