Indah. Begitu indah. Alam dan manusia bersatu. Tak ada pertentangan. Tak ada pertengkaran. Semuanya berpadu menciptakan keselarasan.
Setelah menempuh perjalanan menaiki bukit yang cukup melelahkan, akhirnya kampung itu kami temukan. Cigajebo namanya. Salah satu dari kurang lebih 50 kampun Baduy luar. Di sana, kami berencana menginap di rumah salah satu warga yang bernama Kang Sadi. Untungnya ada dua anggota kelompok kami yang mahir berbahasa sunda. Maklumlah orang sunda. Karena ternyata sebagian besar warga tidak bisa berbahasa Indonesia. Acara minta ijin menumpang pun lancar. Sang pemilik rumah langsung menyiapkan ruang tamunya untuk kita. Lebih-lebih mereka dan dua teman saya yang memang sudah kebagian jobdesk, langsung memasak untuk makan malam kita nanti. Alhamdulillah.
Kami beristirahat sejenak di rumah tersebut. Hanya untuk meletakkan barang-barang, karena kaki kami serasa terus tergelitik untuk langsung mengelilingi desa ini sekaligus menghilangkan rasa lelah. Alam yang masih asli berpadu dengan rumah yang begitu alami dan teratur membentuk kesatuan energi keindahan yang menentramkan setiap jiwa yang mendiaminya. Ada satu hal yang membuat saya penasaran. Mengapa di kampung ini semua rumah hampir sama bentuknya? Rumah panggung rendah berdinding dan beralas bambu serta beratap rumbia dengan kesederhanaan arsitektur yang terbentuk dari perpaduan bambu kuning dan bambu hitam. Ternyata disinilah letak nilai keluhurannya. Peraturan di sini memang mengharuskan warganya membuat rumah yang sama dengan yang lainnya dengan ukuran yang relatif sama. Sekaya dan semampu apapun orang itu, rumah mereka tetap sama. Sederhana. Sehingga semua orang mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada yang kaya, tidak ada yang miskin. Tidak ada kasta. Tidak akan ada pula iri hati dan dengki. Begitu juga baju yang mereka pakai. Orang Baduy luar biasanya memakai baju hitam atau biru tua, dengan bawahan kain, serta ikat kepala biru bercorak batik. Begitu selaras. Di siang hari kita bisa melihat para wanita dengan anggun menenun di hampir setiap teras rumah selagi yang laki-laki pergi berhuma atau berladang. Oh, indahnya...
Malam hari pun datang. Tidak adanya aliran listrik yang mengalir disini, menyebabkan kegelapan total menyelimuti desa ini. Jangan khawatir, bintang terlihat begitu indah dari sini. Angin gunung terus menerpa menghasilkan hawa dingin yang terus menelusup masuk hingga jaket yang kami pakai pun tak dapat menahannya agar tidak menyentuh kulit kami. Uh...dingin.
Paginya kami berencana untuk mengunjungi orang-orang di Baduy dalam. Sayangnya kami tidak boleh menginap di sana, karena kedatangan kami bertepatan dengan hari kawalu, yakni bulan yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Tapi, jangan salah. Puasanya hanya sekali dalam sebulan. Bukan 3 bulan berturut-turut. Tidak apalah yang penting kami bisa masuk ke dalam dan berbincang dengan mereka. Untuk menuju ke sana kami harus melewati jembatan yang unik sekali. Mirip dengan teksas, lah. Hanya saja yang ini versi bambunya. “Bagaimana cara membuatnya?”, itu yang terpikir dalam benak kami. Jalur yang harus dilewati untuk sampai di sana sangat menantang karena kami harus melewati jalan naik turun dengan tanjakan yang cukup membuat ngos-ngosan. Di tambah dengan hujan yang turun pagi tadi menambah tantangan jalan licin bagi kami. Tak disangka salah satu teman kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya Ka Akew-korlap UI SDP yang juga mantan ketua senat FE-yang seharusnya memandu perjalanan kami pun harus kembali ke dasa Cigajebo untuk mengantar teman kami.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan di pimpin oleh ketua kelompok kami, Mursad. Sebelumnya Ka Akew sudah memberikan petunjuk pada kami seperti ini,”ini satu jalur terus. Setelah itu, ada jembatan dan tanjakan kurang lebih 1 km. Abis itu jalan datar. Kalaupun ada tanjakan, paling nggak terlalu tinggi lah. Nah, abis itu nanti ada desa namanya Cibeo”. Dengan mantap kami melanjutkan perjalanan dibekali petunjuk tadi. Namun, setelah melewati jembatan, tanjakan, jembatan, tanjakan yang jumlahnya lumayan banyak, kami tidak kunjung menemukan desa Cibeo. Kami sudah su’udzan pada Ka Akew. Jangan-jangan dia yang salah ngasih petunjuk. Akhirnya setelah jatuh bangun, kami menemukan desa Cikartawana yang merupakan salah satu dari 3 kampung Baduy dalam. Barulah kami sadar ternyata kami salah jalan. Seharusnya Cikartawana adalah desa setelah desa Cibeo, seandainya kami melewati jalur yang benar. Jadi, kita melewati jalur yang lebih sulit. Maafkan kami Ka Akew sudah su’udzan...
Berbeda dengan Baduy luar, di sini adat istiadat benar-benar dipatuhi. Rumah-ruamh dibangun tanpa paku. Hanya tali dan pasak yang menggabungkan bagian-bagiannya. Untuk modelny memang hampir sama. Tidak ada sabun, sampo, maupun odol untuk membersihkan diri. Anehnya, warga di sini lebih mahir dalam berbahasa Indonesia, jadi kami bisa dengan lancar bercakap-cakap dengan mereka. Mungkin karena orang luar lebih tertarik datang kesini daripada ke Baduy luar. Saat melihat kedatangan kami dengan muka kelelahan, mereka langsung memberikan kami minum dan mengantarkan kami ke rumah tujuan kami, yakni rumah kang Naldi. Di sini kita juga tidak akan melihat wanita-wanita yang menenun di teras, karena memang semuanya baik laki-laki maupun perempuan bekerja di ladang. Satu lagi yang berbeda, disini mereka memiliki seorang pemimpin yang bernama pu’un yang dulunya mereka anggap sebagai Nabi yang ke empat dari 7 Nabi yang mereka percaya. Untung saja Kang Naldi sedang ada di rumah. Kami bisa bertanya tentang Baduy lebih dalam padanya. Baduy dalam terdiri dari 3 desa dan tidak boleh bertambah. Yang boleh bertambah hanyalah rumahnya. Perlu diingat, di sini tidak ada batasan jumlah rumah warga dalam 1 desa. Karena menurut Kang Naldi, banyak orang luar yang mengatakan dalam satu desa maksimal 40 rumah. Selebihnya dikeluarkan. Padahal tidak seperti itu. Menurut kang Naldi lagi, kasihan kalau sampai ada yang dikeluarkan. Di sini, kami disuguhi bermacam-macam kerajinan tangan asli Baduy. Ada gelang, kalung, cincin, gantungan kunci, juga tas yang harganya relatif, bahkan sangat murah. Sesi yang satu ini pastinya paling disukai para wanita. Saatnya borong…
Setelah sekitar satu jam kami berada di rumah kang Naldi kami putuskan untuk kembali ke desa Cigajebo karena kami ingat pesan ka Akew,”sebelum jam 2 siang, kalian sudah harus keluar”. Tepat pukul 13.59 WIB kami keluar dari rumah Kang Naldi. Kang Naldi memutuskan untuk ikut turun ke Baduy luar dengan alasan ingin bertemu Ka Akew atau mungkin karena kasihan pada kami yang tersesat sebelumnya. Kali ini perjalanan tanpa disertai dengan salah jalan karena ada tour guide. Dan disinilah kita baru memulai wisata budaya. Yang sebelumnya teambuilding.
“Mereka tidak akan keluar untuk memperingatkan kita, jika kita tidak melakukan kesalahan”, kata yang diucapkan oleh kang Naldi itu terus terngiang di telingaku. Dalam perjalanan naik turun pegunungan tersebut, kami berbincang tentang banyak hal. Termasuk tentang binatang yang menghuni gunung yang kami lalui. Tiba-tiba kata tersebut keluar dari mulut ramah kang Naldi ketika kami agak ketakutan mengetahui bahwa harimau juga ada di sini. Bahkan untuk ukuran hewan yang sangat buas itu, mereka tidak menyebutnya mengganggu, menyerang atau menerkam. Tapi, memperingatkan. Dan kurasa kata itu memang tepat karena setelah dipikir-pikir selama ini memang manusia yang selalu mengganggu habitat hewan, bukan hewan yang mengganggu habitat manusia. Baru sadar, kan? Ternyata masyarakat baduy yang tak pernah mengenyam pendidikan formal ternyata lebih mahir dalam berbahasa Indonesia dibanding kita. Buktinya mereka lebih pintar dalam memilih diksi yang paling tepat.
Sembari berjalan, Kang Naldi terus bercerita tentang kebudayaan suku Baduy. Tentang tidak adanya tindak kejahatan di Baduy. Tentang larangan merokok yang sangat dipatuhi. Termasuk tentang hal yang pastinya paling disukai wanita. Di Baduy, tidak boleh ada yang namanya poligami. Jangankan poligami, bercerai saja dengan alasan apapun tidak boleh. Katanya kasihan jika seorang istri diceraikan. So sweet... JJJ
Kang Naldi mulai menceritakan tentang jembatan yang kami lewati tadi. Ternyata jembatan tersebut dibuat dalam waktu kurang lebih 5 jam oleh sekitar 200 orang warga Baduy dalam dan luar. Wow keren… Jembatan tersebut merupakan representasi dari budaya gotong-royong, pengetahuan yang lahir dari alam, kekuatan, persatuan serta keberanian masyarakat Baduy. Untuk yang satu ini saya yakin masyarakat modern tidak bisa melakukannya. Bagaimana bisa? Jembatan tersebut menghubungkan dua pinggiran sungai sepanjang kurang lebih 10 meter dengan tinggi lebih dari 7 meter dengan bahan batang bambu yang disambung menggunakan tali dan tanpa tiang penyangga di bagian bawahnya. Jembatan tersebut tergantung dengan bambu-bambu yang diikatkan di pohon. Biasanya satu tahun sekali jembatan-jembatan ini harus diganti.
Kearifan terhadap alam seperti inilah yang terus dipegang teguh oleh masyarakat Baduy, terutama Baduy dalam. Setiap budaya serta adat istiadatnya, dipadukan dengan alam. Rumah yang hanya berbahan bambu dan rumbia. Tidak boleh memakai sabun, odol dan sampo. Semuanya dimaksudkan agar tidak merusak alam. Termasuk tidak diperbolehkannya memakai alas kaki juga dimaksudkan agar lebih dekat dengan alam.
Karena itu, jika ada yang bilang orang Baduy tidak mempunyai peradaban, mereka salah besar. Mungkin mereka memang terpencil dan mengasingkan diri. Namun, mereka memiliki peradaban. Peradaban dengan cara mereka sendiri yang berbeda dengan kita. Peradaban yang sangat beradab. Dan mungkin lebih beradab dari peradaban kita, orang-orang modern. Mereka lebih punya idealisme serta nasionalisme yang kuat, yang membuat mereka tetap memegang teguh adat istiadat serta budaya nenek moyang.
Jika ada yang bilang masyarakat Baduy tidak berpendidikan, memang benar, kalau yang dimaksud pendidikan formal. Namun, tempaan alam membuat mereka lebih berwawasan dibanding kita.
Banyak nilai-nilai yang dipegang teguh masyarakat baduy yang seandainya juga dimiliki oleh masyarakat modern saat ini, mungkin Indonesia akan terasa berbeda. Walaupun memang tidak mungkin kita menolak modernisasi. Tapi, setidaknya idealisme, adat istiadat, nilai dan budaya bangsa harus kita pertahankan ditengah arus modernisasi yang semakin menderas. Bukan malah meleburkannya dan akhirnya hilang. Seandainya...
Yang paling mencengangkan di antara semuanya adalah kebiasaan masyarakat Baduy saat tidak ada pekerjaan, yakni jalan-jalan ke kota. Bahkan Kang Naldi mengaku pernah 2 kali datang ke FIB UI. Perhatikan! Jalan-jalan. Buakan berkereta-kereta atau berangkot-angkot. Masyarakat Baduy dilarang menggunakan alat transportasi apapun saat bepergian.
Masih ada satu hal lagi yang mengganjal dipikiran saya. Kenapa namanya suku Baduy? Apakah ada hubungannya dengan salah satu suku asli Arab yang juga bernama Baduy? Sebagai mahasiswa program studi Arab, pertama kali mendengar suku Baduy tentu ini yang terlintas di benak saya. Apa mungkin mereka merupakan keturunan Arab yang kemudian menetap di Indonesia. Ternyata saya salah besar. Mereka adalah suku asli sunda. Sebutan Baduy hanyalah sebutan yang diberikan oleh orang luar yang memang dihubungkan dengan Suku Arab Baduy yang mempertahankan adat istiadatnya dan hidup mengembara. Orang Baduy sendiri lebih senang menyebut diri mereka orang Kanekes.
Seandainya ada kesempatan lagi. Ingin sekali bisa kembali ke sana. Merasakan suara gemericik air menembus tulang dan sendi yang membangkitkan gairah hidup di tengah lelahnya kaki menopang tubuh. Mendengarkan burung dan serangga mendendangkan nyanyian pengantar tidur dan genderang menyambut pagi. Melihat senyum Kardi serta Sarkin dengan dagangannya menyambut di teras rumah. Mendengarkan irama alat tenun yang berpadu dengan melodi alam.
Oh ya… Sebelum pulang ke Depok, kami kembali disuguhi oleh-oleh khas Baduy luar. Ada kaos dan berbagai produk hasil tenunan. Saatnya borong lagi…
Baduy tidak hanya ramah terhadap manusia tapi juga alam dan semua makhluk yang ada di dalamnya.
Haniatur Rosyidah
FIB
Student Development Program 2010
University of Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar