Rasulullah SAW. memberikan banyak langkah solutif untuk hamba-Nya yang ingin menjaga hati dari lawan jenisnya. Salah satunya adalah dengan tidak berdua atau tidak berkhalwat dengan lawan jenis. Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,”Hendaknya engkau tidak berdua,karena yang ketiga adalah setan.”
Ada beberapa hikmah tidak dibolehkannya berkhalwat atau berduaan saja. Kira-kira begini, orang itu jika merasa bahwa hanya ada aku dan dia, maka ia merasa bebas dan aman untuk mengatakan atau membicarakan apa saja, termasuk untuk mengatakan,”Aku cinta kamu.” Bagi orang yang berduaan, tidak ada yang tabu dan harus ditutup-tutupi untuk dibicarakan. Semua legal untuk diperbincangkan. Bahkan, bagi orang pacaran, semua legal untuk dilakukan ketika berdua, seperti ciuman belaian, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, setan sebagai pihak ketiga akan selalu mendukung semua yang dilakukan pelakunya. Setan selalu membisikkan penyimpangan, seakan-akan setan selalu berteriak,”Ayo, teruskan! Nikmati kebersamaan ini! Kesempatan tidak datang dua kali! Dosa dipikir nanti saja, yang penting saat ini adalah kalian bahagia!”
Maka Allah SWT. menggantikan posisi setan sebagai pihak ketiga ini dengan manusia. Asumsinya, keberadaan orang ketiga akan mengendalikan pembicaraan dan semua aktivitas selama berada dalam forum bersama. Perasaan malu dan tidak aman untuk menumpahkan perasaan itulah yang diharapkan dari kehadiran orang ketiga. Memang tidak menyenangkan, tetapi hal itu jauh lebih baik untuk hati kita.
Namun, jika kita jeli, saat ini banyak orang menafsirkan makna berduaan (khlawat) dengan berbagai penafsiran. Celah untuk mendapatkan kesempatan berdua pun dicari. Semuanya itu ditafsirkan bahwa berdua itu bukanlah berkhlawat. Sebut saja dua orang saling berkomunikasi dengan ponsel (SMS), email dan chatting, telepon, ataupun surat. Secara fisik, memang mereka tidak bertemu muka atau badan, tapi hati mereka tetap bertemu. Bagaimana mungkin mereka tidak bertemu hati sedang dengan berbagai sarana itu, mereka saling menumpahkan perasaan, persis seperti ketika mereka bertemu di darat
Baik, coba simak penggalan SMS cinta berikut ini,
“Assalamu’alaikum. Di sepertiga malam, Allah turunkan rahmat untuk orang-orang yang bersujud pada-Nya. Selamat meraih cinta-Nya!”
SMS sampai, missedcall pun datang. Sementara di pihak perempuan yang menerima, SMS itu membuatnya tersipu seorang diri. Seakan ia bingung harus bersyukur atau beristighfar. Bersyukur karena ia mendapat perhatian spesial dari seorang laki-laki yang mungkin dia haarapkan. Sementara di sudut hatinya, ia beristighfar karena ia tahu tidak semestinya perasaan itu ia nikmati.
“Terima kasih, semoga cinta Allah senantiasa bersama kita.”
Kata ‘kita’ seringkali menjadi senditif di benak dua orang yang tengah berdua saja. Sang lelaki pun membalas dengan missedcall.
Azan subuh nyaring terdengar. Usai shalat, sesaat kemudian ponsel kembali berbunyi. “Maaf, saya perlu cattan kuliah untuk ujian minggu depan. Saya bisa pinjam catatan kamu? Kalau bisa, saya tunggu di masjid kampus, habis rapat nanti.
Semakin berdebar kencang hati si perempuan ini. “Kok, pinjamnya sama saya, ya?” Segera ia merancang rencana untuk menulis ulang catatan itu dengan rapi, berharap si lelaki akan mengaguminya.
“In Sya Allah, nanti saya bawakan. Nanti saya harus tunggu di mana?”
“Di tempat biasanya saja. Di pojok taman dekat orang jualan minuman.”
Nah, lho! Tempatnya pun di pilih. Padahal kalau hanya sekadar memberikan catatan kuliah, bisa saja langsung seusai rapat, pada saat masih banyak orang di situ. Kira-kira kenapa ya harus memilih di pojok taman dekat orang jualan minuman? Atau biar bebas bercengkerama ke sana kamari hanya berdua saja, mereka pun tidak terima karena di situ ada penjual minuman, ada pembeli, dekat parkir motor yang setiap saat berlalu-lalang.
“Masya Allah, catatannya rapi sekali. Enggak salah saya pinjam ke kamu.”
Sementara si perempuan semakin tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Dengan wajah bersemu merah, ia hanya menjawab singkat,”Ah, enggak, kok. Kamu saja yang berlebihan menilai.”
Lalu, si laki-laki membuka-buka dengan agak detail. “Wah, kayaknya banyak yang harus diterangkan, nih. Saya bebrapa kali enggak masuk.”
“Kalau bisa, enggak pa-pa nanti saya bantu. Kamu SMS saja, ya? Kenapa kamu jarang masuk? Aktivis kampus itu harus rajin kuliah, lho!” Jawaban-jawaban model ini membuat si laki-laki merasa dipersilahkan masuk. Ia pun masuk dengan membawa segala permasalahan yang ingin disampaikan.
“Saya harus bekerja. Itu tuntutan karena bapak sekarang sakit. Adik saya tiga orang. Enggak mungkin sebagai laki-laki saya membiarkan ibu saya bekerja membanting tulang sendiri, selain juga enggak cukup. Belum lagi aktivitas kampus yang seabreg.”
“Ya, yang sabar, ya? Saya hanya bisa berdo’a untuk kamu. Kalu ada yang bisa saya bantu, bilang saja.
Begitu seterusnya sampai tidak sadar satu jam berlalu. Banyak cerita bisa disampaikan. Banyak empati bisa diberikan. Dalam hati, mereka merasa telah menemukan soulmate. Saat diingatkan untuk membatasi kedekatan, mereka pun ber-apology bahwa si laki-laki membutuhkan tempat untuk menumpahkan segala bebannya agar maksimal di dakwah. Lalu, apa yang salah?
Biasanya kedekatan-kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun dengan melibatkan emosisaling ketergantungan akan sulit dipisahkan. Sebagaimana kedekatan antara suami dan istri. Kedekatan seperti itu menuntut untuk terus bersama, Bahkan berdua. Mereka saling bergantung dan spontan saling bertukar masalah dan empati. Kekuatan emosi ketergantunganitulah yang akan melanggengkan hubungan suami istri.
Tapi sayang, dalam konteks cerita di atas, laki-laki dan perempuan itu bukan suami istri. Kepemilikan mereka atas emosi saling ketergantungan itu pun tidak pas. Sebagai muslim yang bersaudara, memang Allah SWT, memberikan perintah untuk saling membantu ketiak susah, saling memberi motivasi ketika lemah, saling berbagi berita bahagia, dan sebagainya. Tapi murni dalam konteks ukhuwah, tidak terbersit niat lain. Cirinya, cinta dan perhatian itu diberikan rata kepada semua saudara, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada yang dikhususkan. Nah, kalu sudah ada yang dispesialkan, apalagi lawan jenis, sepertinya segera harus diluruskan kembali.
Ingat, kita buakn satu-satunya pahlawan atau hero untuk teman kita. Karena sesungguhnya dalam konteks ukhuwah, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi pahlawan bagi teman yang lain. Kalau ada teman lakia-laki yang memiliki masalah, tidak semestinya kita mencap bahwa hanya kitalah yang didengar dan dipercaya. Masih banyak teman laki-laki lain yang bisa membantu teman kita itu. Dan itu lebih pas. Begitu juga sebaliknya. Kalu ada teman perempuan kita memiliki masalah, jangan sekali-kali mencap bahwa hanya kitalah yang didengar dan dipercaya. Kembalikan semaunya pada tempatnya.
Masalah lain yang harus diperhatikan terkait dengan berdua-duaan ini adalah esensinya. Esensi berdua di dalam khalwat adalah bertemunya hati dua orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak dibingaki dalam pernikahan. Bukan hanya bertemunya dua fisik laki-laki dan perempuan. Kecanggihan teknologi telah membuat semuanya bergeser. Ponsel, internet, telepon atau surat bisa membuat orang berkhalwat meski tidak bertemu fisik. Bagaimana bisa dibilang tidak berkhalwat sementara pembicaraan mereka sedemikian jauh mencapai wilayah-wilayah hati dan perasaan dua orang, laki-laki dan perempuan? Bahkan kadang-kadang, pembicaraan yang tidak mempertemukan fisik membuat mereka lebih bebas untuk mengungkapkan apa saja.
Tetapi, kadang-kadang kebersamaan dua orang dalam suasana yang ramai pun bisa menjadi khalwat. Seperti cerita di atas, Mereka berdua berada dalam hiruk-pikuk orang-orang yang parkir motor, penjual dan pembeli minuman, orang yang berlalu-lalang shalat di masjid, tetapi selama mereka tidak terlibat pembicaraan berdua itu,mereka tetap berdua-duaan. Kita kembalikan esensi orang ketiga dalam kebersamaan itu, yaitu sebagai pengendali. Itulah, kadang-kadang kita melegitimasi sebuah kesalahan yang kita lakukan dalam berkhalwat dengan menyertakan orang-orang di sekitar yang mereka tidak pernah tahu dengan apa yang mereka berdua lakukan. Jika kita berduaan di dalam masjid, tidak semestinya kita melegitimasi diri dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tengah shalat itu sebagai orang ketiga. Jika kita berduaan di supermarket, tidak semestinya kita melegitimasi diri dengan mengatakan bahwa banyaknya orang belanja itu sebagai orang ketiga. Begitu pun jika kita bertiga dan pada saat pembicaraan tadi, kita ‘mengusir’ teman yang satunya untuk duduk tiga meter dari kita, tetap saja kita melakukan khalwat.
Esensi berdua-duaan adalah proses berinteraksinya hati di mana ada muara rasa yang sama alias bertemunya hati. Pendek kata ada ‘klik’ di hati. Untuk menedeteksi kita berdua-duaan atau tidak, maka tanyakanlah pada hati dengan kejujuran.
Ya, sebaiknya kita tidak membuka peluang pada teman yang akan jatuh cinta pada kita. Karena kita pun akan mendapat imbasnya. Mungkin kadang-kadang kita sengaja membuka peluang karena kita pun memiliki rasa cinta kepada teman lawan jenis. Jika orang yang kita harapkan menangkap peluang itu, hati kita pastiakan berbunga-bunga. Namun, jika ternyata orang yang kita harapkan itu cuek saja atau tidak menanggapi ‘undangan’ kita, kita pun akan merasa kecewa.
Bahkan terkadang, karena karakter ketulusan kita dan perhatian kita, secara tidak sadar peluang itu pun terbuka. Istilahnya orang merasa dipersilahkan masuk, padahal sebenarnya kita tidak bermaksud demikian. Kebaikan-kebaikan dan perhatian yang kita berikan kepada orang lain seringkali membuat orang GR. Namun, jangan sampai ke-GR-an orang lain karena sikap kita membuat kita mengubah karakter. Yang diperlukan di sini hanya ketepatan menempatkan secara proporsional. Kita harus tahu kapan dan dengan siapa berkata dengan lemah lembut, memberikan empati saat orang lain mendapat musibah, atau memberinya pujian dan semangat saat orang lain lemah.
Membuka peluang sering kali dilakukan dengan kata-kata dalam komunikasi tulis. Lewat SMS misalnya. Dalam contoh di atas, beberapa kalimat memberikan harapan bagi lawan jenisnya untuk ‘masuk’. Misalnya kata-kata,”Terima kasih, semoga cinta Allah senantiasa bersama kita.” Tanggapan positif dengan mengatasnamakan ‘kita’ itu sudah membuat hati orang berdebar-debar. Ia merasa sapaannya mendapat sambutan baik. Artinya, ia boleh masuk dan melanjutkan komunikasi. Tapi mungkin akan berbeda jika kita menjawab,”Terima kasih, semoga cinta Allah diberikan kepada seluruh umat-Nya di muka bumi. Apakah kamu sudah mengingatkan yang lain?”
Kata-kata lain yang memberi peluang adalah ,”In Sya Allah, nanti saya bawakan. Nanti saya harus tunggu dimana?” Jawaban itu mengisyaratkan bahwa sebenarnya kita pun menginginkan pertemuan dengan ‘si dia’. Kalau hati kita tidak mengharapkan pertemuan, semestinya cukup dengan kata-kata,”In sya Allah, nanti saya taruh diKalau hati kita tidak mengharapkan pertemuan, semestinya cukup dengan kata-kata,”In sya Allah, nanti saya taruh di loker sekret.” Atau “In Sya Allah, nanti saya kasih di rapat.” Dan semestinya begitu karena seremonial orang meminjam itu hanya menyerahkan barang, kalau acara berlanjut dengan bertemu, mengobrol, itu sudah berubah menjadi seremonial berduaan.
Selain berkomunikasi lewat SMS, seringkali juga peluang itu dibuka dalam komunikasi lisan. Seperti dalam contoh di atas, dalam pembicaraan dua orang, laki-laki dan perempuan, di mana si laki-laki menyampaikan beban hidupnya dan si perempuan memberikan empati yang menyejukkan.
“Kalau bisa, enggak pa-pa nanti saya bantu. Kamu SMS saja, ya? Kenapa kamu jarang masuk? Aktivis kampus itu harus rajin kuliah, lho!”
Jawaban-jawaban model begini, membuat si laki-laki dipersilahkan masuk. Ia pun masuk dengan membawa segala permasalahan yang ingin disampaikan. Hatinya pasti akan bergetar dan berbunga-bunga. Saat-saat berdua pun menjadi saat yang dinantikan . Empati-empati lembut pun menjadi kata-kata harum dan penuh tenaga. Bukankah orang yang bercinta itu akan selalu mendengarkan kata-kata orang yang dicintainya? Sambil terus bersyukur dan berandai-andai dalam hati,”Subhanallah, ada wanita selembut ini. Ah, andai dia menjadi istriku kelak.” Nah lho, imajinasinya melesat ke dunia antah-berantah.
Padahal mungkin akan lebih enak jika kita memberikan do’a saja, kemudian menyampaikan pada orang terdekatnya bahwa si laki-laki membutuhkan bantuan dan dukungan. Jika sewaktu-waktu ada yang bisa kita bantu, maka kita bisa bertindak dalam sebuah “amal kolektif”, bukan “amal pribadi”. Amal kolektif itu amal yang dilakukan bersama-sama. Penyelesaian dan dukungan untuk meringankan bebannya dilakukan bersama. Dalam “amal kolektif”, kita tidak akan malu-malu untuk melakukan senuatu. Berbeda kalau kita berbuat sebagai “amal pribadi”, biasanya kita akan ketakutan dan malu jika ada yang mengetahui apa yang kita lakukan.
Akan sangat berbahaya jika salah satunya sudah menikah. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tegas.
Dikutip dari buku “Smart love” karya Kusmarwanti, M. Idham
dengan sedikit perubahan
0 komentar:
Posting Komentar